"Tuhan, lagi apa?"


 
Bagi yang pernah berpacaran, mestinya sudah tak asing lagi dengan pertanyaan-pertanyaan seperti “lagi apa?”, “lagi dimana?”, “sudah makan belum?”, dan lain-lain. Sejatinya tidak ada yang salah dari pertanyaan-pertanyaan tersebut. Namun entah mengapa, sosial media saya beberapa tahun terakhir ini menunjukkan adanya indikasi bahwa orang-orang menganggap pertanyaan semacam itu adalah pertanyaan yang membosankan.

Barangkali mereka sudah terlalu sering dengan pertanyaan semacam itu. Sampai-sampai ada yang mengatakan dengan agak ketus seperti “bosen banget ditanya lagi apa mulu, kreatif dikit kek jadi orang”. Mungkin bagi sebagian orang pernyataan tersebut merupakan hal wajar, dan bahkan setuju-setuju saja dengan itu. Namun, saya memandangnya agak berbeda.

Saya kurang bisa memaklumi dengan hal semacam itu. Kebosanan tentu saja hal yang menyebalkan, tetapi didalam pertalian kasih selayaknya kebosanan itu dibicarakan. Aneh rasanya ketika melihat pernyataan semacam itu terlontar di jagat sosial media. Bagaimana perasaan orang yang dia singgung saat melihat postingan tersebut? Menyakitkan tentunya. Apalagi jika kemudian itu menjadi gosip yang sukar ditanggulangi penyebarannya.

Disisi yang lain, apakah kebosanan itu tidak bisa dimaklumi? Seorang ibu akan selalu mengingatkan anaknya untuk makan bahkan saat ia sudah dewasa. Ayah akan selalu mengingatkan untuk berhati-hati saat naik kendaraan bermotor bahkan disaat kita sudah sangat ahli menggunakan motor. Saya mengalami semua itu hingga hari ini (23 tahun) dan saya maklum-maklum saja dengan hal semacam itu.

Hal yang sama berlaku saat teman dekat saya melakukan hal yang serupa. Saya mengerti bahwa tidak tepat menjadikan diri saya sebagai standar. Tetapi sekali lagi, apakah kebosanan tidak bisa dimaklumi? Begitu banyak cerita yang sampai ditelinga saya mengenai sebuah hubungan yang berakhir dengan dalih bosan. Apakah benar rasa bosan itu mampu menjadi raksasa yang mengalahkan besarnya rasa kasih yang terjalin diantara keduanya?

Jika benar, lantas bagaimana dengan pasangan kakek-nenek yang masih bersama hingga usia senjanya? Mereka bahkan mungkin sudah bersama sejak umur belasan, seberapa besar kah rasa bosan mereka? Apalagi mereka mungkin tidak kenal internet sama sekali. Penawar macam apa yang mereka minum hingga sampai usianya yang senja mereka mampu membunuh bosan sehingga masih bersama? Bisa jadi penawarnya hanya satu, yaitu melihat ke dalam hati masing-masing untuk kembali mengingat seberapa besar rasa kasih yang telah dipupuk bersama-sama.

Mungkin, ungkapan yang kiranya membosankan itu justru adalah ungkapan tulus bagi seseorang. Tak banyak orang yang mampu menulis panjang lebar, barang kali lewat pertanyaan-pertanyaan membosankan itulah rasa kasihnya disampaikan. Dan jika lantas merasa bosan, coba tengok kembali ke dalam hati. Lihat seberapa besar kasih yang telah kalian pupuk bersama. Apakah sungguh-sungguh rela bila pertalian kasih yang sudah dibina lantas sirna hanya karena bosan?

“kami mampu bersama hingga tua karena satu hal, bila ada sesuatu yang rusak kami tak lantas membuangnya, tetapi kami memperbaikinya”

***

Setelah merenungi jalinan kasih yang telah dibina dengan manusia yang lain. Jangan lupa untuk membina jalinan kasih dengan yang punya manusia. Pada dasarnya Tuhan menyapa kita dengan cara yang sama, bahkan dalam Islam Tuhan menyapa lima kali setiap harinya.

Dalam setiap sapaannya apakah kita sebagai kekasihnya selalu membalas sapaannya? Atau justru kita membiarkan saja pesan itu tak terbalas? Barang kali Tuhan cemburu.

Ngomong-omong bagaimana caranya kalian ngobrol dengan Tuhan? Ada yang bilang kalau ngobrolnya masih dengan tata bahasa yang baik dan formal justru menunjukkan bahwa dia masih berjarak cukup jauh dengan Tuhan, sebab mereka yang dekat akan menggunakan bahasa yang jauh lebih santai dan mesra layaknya sepasang kekasih. 

Bukankah rasanya aneh, kita senang sekali bermesraan dengan sesama manusia tetapi tak pernah bermesraan dengan Sang Pencipta? Orang mungkin akan bertanya bagaimana caranya dan bahasa macam apa yang harus digunakan. Rasanya tak perlu risau akan hal itu, bukankah Ia Maha Tau? Bahkan apa yang tak kau ucapkan pun Ia tau. 

Lantas untuk apa bermesraan? Bukankah ia sudah tau kalau kita mencintaiNya? Iya, tetapi apa salahnya menunjukkan rasa cinta kita kepadaNya? Seorang suami yang mengatakan “aku menyayangimu” kepada istrinya bukan berarti ia baru mencintainya saat itu, tentu saja ia mencintainya sejak dulu dan istrinya pun paham akan hal itu. Ia mengatakannya semat-mata sebagai sebuah ungkapan kemesraan yang mengundang senyum dan tawa.

Oleh karenanya, mari bermesraan dengan-Nya. Mari saling menyapa dan saling kangen satu sama lain. Sebab mencintai Tuhan bukanlah dengan teriakan dan amarah yang menggebu, tetapi dengan penuh kemesraan dan kegembiraan.

***

“Tuhan, lagi apa?”

Comments

Popular Posts