Tidak Ada Kubah Hari Ini
Sumber: https://www.tourradar.com/t/68709 |
Belakangan
ini, cukup sering kita dengar tentang gerakan-gerakan yang dilakukan
umat muslim seperti aksi damai 411 dan aksi damai 212. Ada satu hal yang
mungkin jarang diperhatikan orang tentang aksi-aksi ini, yaitu tempat
berkumpulnya mereka saat akan melakukan aksi damai. Tempat yang mereka
pilih adalah Masjid Istiqlal. Kenapa mereka tidak memilih Monumen
Nasional saja sebagai tempat berkumpul yang notabene lebih luas areanya?
Apa arti sebuah masjid bagi mereka?
Apa
yang pertama kali terlintas dalam benak kita saat mendengar kata
arsitektur Islam? Atau jika terlalu rumit, apa yang terlintas dalam
benak kita saat kita mendengar kata Islam? Sorban? Baju putih? Gamis
panjang sampai lutut? Sholat? Teroris? Muhammad? Palestina?
Lalu
bagaimana dengan arsitektur Islam? Apa yang kemudian terlintas? Turki?
Hagia Sophia? Andalusia? Alhambra? Makkah? Masjidil Haram? Istiqlal?
Atau justru malah seperti mashrabia, air,najis-tidak najis?
Kita
mengenal sesuatu melalui tanda-tanda, melalui simbol-simbol. Jogja
dengan Tugu Pal Putih dan Malioboronya atau Jakarta dengan Monas dan
Istana Negaranya. Meski ada sedikit ironi juga ketika sebuah bagian
kecil dari suatu tempat menjadi lebih terkenal, seperti orang luar
negeri yang jauh lebih mengenal Bali dari pada mengenal Indonesia.
Bahkan parahnya lagi, Bali dikiranya adalah sebuah Negara tersendiri.
Kembali
kepada arsitektur Islam. Salah satu hal yang menjadi simbol dari agama
adalah rumah ibadahnya. Sebuah rumah Tuhan. Ada bangunan gereja bagi
orang Nasrani, ada pura bagi orang Hindu, ada wihara bagi orang Budha,
dan ada masjid bagi orang Islam.
Bagi mainstream masyarakat
muslim Indonesia, masjid mempunyai simbol tersendiri, yaitu kubah.
Masjid dengan kubah berukuran kecil hingga besar akan banyak kita temui
disekitar kita. Baik dari yang berbahan beton atau baja hingga yang
berbahan aluminium yang sering kita sebut dengan mustaka. Kubah seolah
menjadi sebuah ciri khas yang begitu penting bagi masjid di Indonesia.
Bahkan sebuah masjid terbesar di Kota Depok masjidnya menggunakan kubah
yang dilapisi emas. Kubah begitu mulia dan begitu penting bagi masjid di
Indonesia. Tanpa kubah, bukan masjid namanya.
Namun,
walau sudah menjadi sebuah trend di mainstream masyarakat muslim
Indonesia (atau mungkin bahkan masyarakat non-muslim), tetap saja ada
yang memprotes kehadiran kubah tersebut pada atap-atap masjid. Seolah
kubah tidak semestinya ada disana, seolah ia adalah barang haram bagi
kalangan tertentu.
Kubah
atau dome memang mempunyai sejarah yang panjang dan sesungguhnya tidak
berkaitan pula dengan Islam. Kubah pertama kali tercatat dibangun di
Kota Roma pada tahun 64M. Sedangkan masjid pertama yang dibangun oleh
Rasulullah adalah Masjid Quba dan Masjid Nabawi tercatat dibangun pada
tahun 622M, dan dimungkinkan saat itu masjid-masjid tersebut tidak
menggunakan kubah pada atapnya.
Arsitektur
Kristen Renaissance adalah pelopor dalam mempopulerkan bentuk kubah
pada bangunan. Dimulai sejak abad ke-15 dan mencapai puncaknya pada abad
ke-18 dalam periode arsitektur Barok. Penyebaran arsitektur kubah tidak
hanya berada pada wilayah benua Eropa, tetapi melebar hingga ke Turki,
India, dan Timur Tengah. Bentuk kubah yang paling populer di daerah
tersebut adalah kubah berbentuk seperti bawang. Taj Mahal adalah salah
satu contohnya.
Selain
itu, salah satu bangunan dengan arsitektur kubah yang seakan mempunyai
simbolisme Islam yang sangat kuat adalah Masjid Hagia Sophia di Turki.
Model kubah masjid tersebut menjadi model bagi banyak masjid dinasti
Ottoman (Utsmaniyah) yang begitu kuat syiarnya dalam penyebaran agama
Islam ke daratan Eropa. Seperti Masjid Sultan Ahmed (Blue Mosque),
Masjid Sehzade, Masjid Sulaymaniye, dan Masjid Rustem Pasha. Namun, tau
kah kita bahwa masjid-masjid tersebut dulunya adalah katedral yang
dibangun atas perintah Justinian, seorang kaisar Kristen pada tahun 532M
hingga 537M dan dianggap sebagai puncak kejayaan arsitektur Byzantium?
Di
Jerman Selatan dan Austria, bentuk kubah yang berbentuk bawang (di Jawa
dikenal sebagai “mustaka”) sudah tersebar luas sejak zaman Barok Rokoko
abad ke-18. Bahkan kubah yang terkenal Islami itu dipakai secara luas
selaku mustaka untuk menara gereja-gereja Katolik. Sehingga nama
“Zwiebelturm” (Bahasa Jerman — Menara Bawang) sudah menjadi sesuatu yang
umum di daerah Jerman Selatan dan Austria.
Dari
sejarah diatas, dapat kita simpulkam bahwa arsitektur kubah tidak bisa
serta merta kita sempitkan maknanya menjadi sebuah ciri atau simbol dari
arsitektur Islam. Masjid Demak, pionir masjid di Pulau Jawa yang
didirikan oleh para Wali pada tahun 1474 tidak memiliki atap kubah.
Atapnya miring bersusun menyerupai konstruksi atap pagoda atau kuil-kuil
milik pemeluk agama Hindu. Demikian juga masjid-masjid kuno di Pulau
Jawa seperti Masjid Mataram Kota Gedhe juga Masjid Gedhe Kauman yang
atapnya miring, gunungan, dan berundak-undak yang bahkan sampai
mempengaruhi bentuk-bentuk masjid negara tetangga, seperti Brunei,
Malaysia, dan daerah Filipina Selatan.
Pakar
Tafsir Al-Qur’an asal Indonesia, Muhammad Quraish Shihab menguraikan,
kata masjid terulang sebanyak 28 (dua puluh delapan) kali di dalam
Al-Qur’an. Dari segi bahasa, kata masjid terambil dari akar kata sajada-sujud, yang berarti patuh, taat, serta tunduk
dengan penuh hormat dan ta’dzim. Meletakkan dahi, kedua tangan, lutut,
dan kaki ke bumi, yang kemudian dinamai sujud oleh syariat, adalah
bentuk lahiriah yang paling nyata dari makna-makna di atas. Itulah
sebabnya mengapa bangunan yang dikhususkan untuk melaksanakan shalat
dinamakan masjid, yang artinya “tempat bersujud.”
Maka
bukankah hanya itu yang terpenting? Sebuah tempat untuk bersujud dan
tunduk kepada-Nya? Mengagungkan dan memuliakan nama-Nya?
Bentuk
tertentu tidak menjadi sebuah syarat bagi masjid. Tidak pernah ada
aturan khusus juga baik dalam agama ataupun tertulis dalam konstitusi
tertentu. Tetapi baiklah, kita anggap dulu kubah sebagai sebuah simbol
religi. Simbol tidak selalu berakar dari sebuah kejadian yang intern.
Simbol terkadang muncul sebagai sebuah kepentingan politis atau hanya
sekedar sebagai tanda saja, tidak mempunyai arti yang lain. Simbol tidak
selalu mampu menghadirkan sesuatu yang disimbolkannya. Bahkan Avianti
Armand dalam bukunya Arsitektur yang Lain mengatakan “Namun, adakah Tuhan di rumah Tuhan itu?”
Seorang
ibu menemukan Tuhan ketika ia sedang bersusah payah melahirkan buah
hatinya. Seorang ayah menemukan Tuhan ketika melihat buah hatinya tengah
tertidur lelap. Seorang anak menemukan Tuhan ketika ia pulang dari
sekolah kemudian medapati senyuman bahagia dari ibunya yang sejak tadi
menantinya. Seorang teman menemukan Tuhan dibalik rintik-rintik air yang
membasahi jendela kamarnya. Seorang yang lain menemukan Tuhan saat
gempa bumi tengah mengguncang, saat itu ia menemukan-Nya ditengah-tengah
ketidakberdayaannya untuk menyelamatkan diri. Atau juga ada yang
menenukan Tuhan saat seseorang sedang dalam perjalanan menggunakan kapal
dan merasa tak berdaya saat melihat air yang begitu melimpah dan seolah
akan menelannya. Ada juga seorang rekan menemukan Tuhan saat ia
menapakkan kakinya diatas kerikil-kerikil yang basah, merasakan dingin
dan benjolan-benjolan dari batu yang diinjaknya.
Tuhan
ditemukan di tempat-tempat dan suasana tertentu dalam kehidupan
manusia. Suasana itu kemudian menggugah ketakjuban kita dan membuat kita
ingin bersujud dihadapan-Nya, mengagungkan serta memuliakan nama-Nya
dalam bahasa yang tak terkatakan. Allah yang Maha Besar. Yang tak
terkatakan, yang tak terukur, yang tak tergapai, seperti luasnya lautan,
dalamnya palung, tingginya angkasa, matahari terbenam, stary night, kelahiran,
ledakan, gempa bumi, tsunami, meteor yang jatuh, semesta yang tak
terbatas. Kita terpana, kagum, dan tak berdaya akan segala
kebesaran-Nya.
Tuhan
ditemukan dalam kekaguman-kekaguman itu, ketakjuban-ketakjuban itu,
ketakberdayaan itu. Tuhan bersemayam pada momen-momen yang menakjubkan
dan sangat privat. Maka, membangun rumah Tuhan tidak semata menyematkan
simbol-simbol. Membangun rumah Tuhan adalah merangkai semua rasa itu
kedalam sebuah ruang yang begitu terbatas. Dan dalam keterbatasan itu
adalah tugas kita para arsitek untuk memutar otak bagaimana caranya kita
akan mengolah ruang sehingga mempunyai kualitas tersebut.
Tetapi
perlu kita ingat kembali, bahwa bumi itu bulat, bola itu bundar.
Mimpi-mimpi arsitek tak selamanya mampu menjadi kenyataan.Apalagi jika
kita melihat konteksnya di Indonesia. Indonesia seolah menjadi sebuah
antithesis bagi dunia. Begitu banyak teori-teori yang populer didunia
ini tetapi saat diterapkan di Indonesia semua itu tidak ada artinya
karena sama sekali tak mampu berjalan. Indonesia mempunyai semacam
struktur unik dalam masyarakatnya, hampir setiap kejadian di Indonesia
tidak pernah terjadi secara mulus, selalu ada sedikit atau bahkan banyak
kacaunya.
Seorang
teman bercerita, ia sedang mendesain sebuah masjid disebuah kampung.
Masjid yang ia desain tak menggunakan kubah sebagai atapnya, atapnya
datar. Kemudian ia presentasi didepan warga kampung, saat itu tidak ada
yang bertanya ataupun mengkritik apa yang dia presentasikan. Tetapi
setelah beberapa hari, ternyata warga membicarakan masalah tidak ada
kubahnya didesain masjid itu. Bahkan ternyata, setelah itu warga sampai
mengundang arsitek yang lain untuk mendesain masjid kampung mereka.
Mengetahui hal itu, teman saya kemudian cukup kebingungan. Akhirnya dia
mencoba untuk presentasi kembali didepan warga dan menambahi kubah pada
atap masjidnya, setelah itu semua warga langsung setuju. Bahkan dengan
adanya penambahan kubah tersebut biaya yang dikeluarkan membengkan
sangat besar, tapi warga tetap setuju, bahkan sangat bersemangat untuk
mencari dana tambahan.
Lalu
bagaimana kita melihat fakta itu? Apakah kita akan tetap bersikeras
memaksakan pemikiran kita sebagai arsitek? Apakah warga salah? Apakah
kita akan mengatakan bahwa warga tidak mengerti arsitektur? Jika iya,
pernahkah kita yang mengaku sebagai intelektual yang menguasai ilmu
arsitektur ini memberi penyuluhan atau sosialisasi atau memberi
pengetahuan kepada warga tentang arsitektur? Apakah pantas bagi kita
untuk menyalahkan warga sedang kita sendiri tak pernah “mengedukasi”
mereka?
Masjid
bagi warga mungkin tidak hanya sekadar tempat ibadah. Masjid bukan
hanya sebagai tempat untuk bersujud dan memuliakan nama-Nya. Masjid bagi
warga bisa lebih dari itu. Masjid adalah sebuah tempat komunal. Masjid
mempunyai lapisan dimensi yang begitu banyak. Sebuah tempat untuk
berdiskusi, rapat, mengaji, berbuka puasa bersama, mengumpulkan zakat,
dan bahkan menikah. Apa yang benar tentang masjid bisa jadi bukan
seperti kebenaran menurut sejarah dan ilmu pengetahuan, sebab masjid
adalah adalah simbol yang dimiliki bersama sehingga kebenarannya pun
harus mengacu kebenaran bersama. Apalah arti masjid bila ia tidak hidup?
Apalah arti masjid bila mereka yang berada didalamnya tidak menemukan
Tuhan?
Lalu,
apakah kebenaran bersama itu tidak mungkin berubah? Tentu saja sangat
mungkin berubah. Pendidikan arsitektur untuk masyarakat menjadi kunci
utama untuk meluruskan segala sesuatu yang salah kaprah ini. Memang
tidak akan cepat prosesnya, tetapi itu lebih baik dibandingkan hanya sambat hehe.
Comments
Post a Comment