Konteks Kata

Source: https://nyctecenter.org/cte-blog/117-learning-in-context

Kata adalah suatu hal yang begitu hebat dalam dunia manusia. Meski banyak hal yang tak terkatakan, tetapi kata tak dapat dipungkiri adalah sesuatu yang sebegitu besarnya hingga mampu menciptakan dunia yang lain.

Kata-kata yang tertulis pada paragraf ini mungkin terkesan biasa-biasa aja. Tetapi kata-kata dalam puisi atau lagu mampu menciptakan dunia baru dalam setiap kepala manusia yang membacanya.

Di lautan manusia ini
Teriakanku tak lebih keras daripada diam

Dua kalimat diatas begitu sederhana, tetapi dunia yang dibuat olehnya tidak sesederhana itu. Setiap diksi, susunan kalimat, rima, dan lain sebagainya menjadi konstruksi penting dalam menulis. Dalam kasus penulisan puisi atau syair lagu, hampir sebagian besar tulisannya memang dibuat oleh sang pengarang sebagai tulisan yang multitafsir. Sebab dengannya tulisan itu akan selalu hidup, sebab ia akan ditafsirkan berbeda-beda dalam setiap kepala manusia. 

Lain halnya dengan tulisan ilmiah. Tulisan itu ditujukan untuk melaporkan sesuatu secara objektif. Tidak boleh multitafsir, apa yang tertulis disana adalah apa yang sesungguhnya terjadi. Oleh karenanya penulisan ilmiah sangatlah detail dan terstruktur. Pemilihan katanya harus benar-benar tepat. Sebab bila kata yang dipilih ambigu, maka hal tersebut bisa berakibat pada pengambilan kesimpulannya.

Pada dasarnya setiap kata harus diletakkan pada konteks yang tepat supaya tidak terjadi salah penafsiran. Hal ini tidak hanya berlaku dalam penulisan, melainkan berlaku juga saat kita berbicara dengan lisan. Ketergesa-gesaan dalam berbicara biasanya mengakibatkan kita salah memilih kata. Akibatnya macam-macam, syukur-syukur bila orang mengerti apa yang sesungguhnya kita maksudkan, tetapi bisa jadi kata yang kita lontarkan ternyata menyinggung perasaan orang yang sedang kita ajak bicara. Fatal akibatnya.

Tulisan ini dibuat dalam rangka menanggapi kehidupan yang sedang berlangsung hari ini (Februari,2020). Banyak kita temui baik di keseharian kita, di TV, di media sosial, dan platform yang lain dimana orang-orang menyepelekan dan abai terhadap kata-kata. Banyak orang menulis/berbicara tanpa pernah mengerti konsekuensi atas apa yang ditulisnya, atas kata yang ia pilih.

Selain itu, orang juga mulai abai terhadap konteks dimana dia menulis/berbicara. Sungguh aneh ketika seorang calon sarjana menuliskan kata “nyaman” dalam laporan skripsinya. Sebab nyaman itu tidak mampu diukur. Nyaman harus dijabarkan lagi, nyaman yang seperti apa? Suhunya? Akustiknya? Pencahayaanya atau apa? Sangat disayangkan bila seorang calon sarjana tidak mengerti apa itu objektivitas, tidak mengerti bahwa apa yang ditelitinya harus bisa dibuktikan. Senyatanya hal seperti ini banyak terjadi, sebab sering sekali kita temui para sarjana yang tidak nyambung ketika diajak berbicara dalam kerangka berpikir ilmiah.

Akhir-akhir ini buku yang ditulis oleh Yuval Noah Harari yang berjudul Sapiens dan Homodeus cukup laris di Indonesia. Buku yang bagus dan banyak anak muda Indonesia yang membacanya. Sayangnya, buku ini juga “turut membawa” beberapa anak muda yang membacanya mendaulatkan diri sebagai seorang atheis. Kata mereka apa yang ditulis oleh Harari sangatlah logis dan tidak perlu adanya Tuhan disana. Hal ini sesungguhnya adalah benar, tetapi pengambilan kesimpulan yang dilakukan oleh sebagian anak muda itu kurang tepat. Tentu saja apa yang ditulis Harari sangatlah logis, dan memang tidak ada Tuhan disana. Kenapa? Karena apa yang dituliskan Harari sesungguhnya adalah hasil riset, anda dapat melihat catatan kakinya dibagian belakang bukunya. Ada banyak sekali catatan kaki disana. Riset berarti menggunakan metode ilmiah. Didalam metode ilmiah Tuhan memang tidak pernah dipertimbangkan, sebab metode yang ada memang tidak mampu mengakomodasi faktor itu. Metode ilmiah itu terbatas pada dunia yang mampu diamati manusia, sedang Tuhan adalah dzat yang melampaui itu.

Cerita diatas adalah sebuah gambaran kecil dimana pemahaman akan kata mampu membawa kita kemana-mana. Bisa membawa kita ke sudut utara, barat, selatan, atau timur sekaligus. Kiranya masih banyak contoh yang bisa kita pelajari, penafsiran kitab suci yang serampangan, omongan pejabat yang asal, dan lain sebagainya. 

Kini saatnya kita mulai peduli dengan kata. Setelah mampu peduli dengan kata, kita harus mulai pedih pada konteksnya. Jangan sampai kata-kata yang kita bawa sampai ditempat yang salah. Seindah-indahnya kejujuran akan berakhir mengenaskan bila ditempatkan ditempat yang salah. Begitu juga dengan kata-kata. Sehebat-hebatnya kata-katamu, bila ia berada ditempat yang salah, maka tidak akan ada artinya. Yang mungkin ada malah bisa jadi hinaan semata. Mungkin juga kebodohan yang tiada tara.

Comments

Popular Posts