Mabuk Identitas




Mabuk. Kata yang sudah tak asing lagi bagi telinga kita. Sejak kecil bahkan kita telah mengenal kata ini. Bahkan sejak kecil pula kita sudah mengerti apa itu mabuk, mungkin juga sudah pernah melihat orang mabuk, dan bisa jadi juga malah sudah melakukannya sejak sedini itu.

Telah dikatakan oleh berbagai nasihat bahwa mabuk adalah perbuatan yang semestinya tidak dilaksanakan. Namun kita tau bahwa hidup adalah dialektika yang begitu membingungkan sehingga dapat kita pastikan bahwa apa yang telah dilarang justru dilaksanakan. Hal-hal yang terlarang dan dosa adalah kenikmatan, sedangkan yang baik dan terpuji adalah hal yang begitu sulit dan menguras kesabaran. Betapa Tuhan menciptakan hal-hal yang begitu mengesankan.

Mabuk secara universal dapat diartikan sebagai tenggelam dalam kenikmatan, kenikmatan tersebut lantas menyebabkan seseorang untuk lupa diri dan kehilangan kontrol atas kesadarannya. Contoh sederhananya dapat kita lihat pada orang yang mabuk minuman keras. Orang tersebut menjadi ngelantur dan mengacau bahkan bila sudah parah bisa kehilangan kontrol atas pikirannya dan melakukan hal yang tidak-tidak.

Peristiwa lain yang bisa kita jadikan contoh adalah mabuk identitas. Mabuk jenis ini kiranya cukup berbahaya dibandingkan dengan mabuk minuman keras, sebab mabuk identitas mampu menimbulkan diskriminasi hingga berujung pada kekerasan. Misalnya saja golongan kulit putih dan kulit hitam di Amerika pada zaman dahulu. Kebanggan menjadi golongan kulit putih disana membuat mereka mendiskriminasi mereka yang kulitnya hitam. Bahkan dulu mereka sampai dijadikan budak dan diperdagangkan. Hal yang serupa dapat kita tengok pada rezim Adolf Hitler, kebanggaannya sebagai ras arya membuatnya mabuk hingga melakukan pembasmian terhadap mereka yang Yahudi. Peristiwa-peristiwa mengerikan itu terjadi karena tenggelam dalam kenikmatan yang beratasnamakan ras.

Hal lain yang cukup membuat banyak orang mabuk dan tenggelam adalah agama. Sudah begitu banyak kita ketahui bahwa banyak sekali perang yang dilakukan atas nama agama. Anggapan bahwa agama yang dianut adalah yang paling benar sesungguhnya cukup wajar, tetapi yang biasanya menyulut konflik adalah pemahaman bahwa bila agamaku yang benar berarti yang lain salah. Siapapun mereka yang salah maka layak untuk ditumpas darahnya. Hal ini mengakibatkan perang besar seperti perang salib hingga yang termuktahir adalah munculnya kelompok teroris semacam ISIS.

Di Indonesia sendiri konflik ras dan agama cukup mewarnai sejarah kita. Beberapa kerusuhan yang cukup besar seperti di Sampit dan di Sulawesi adalah contoh yang nyata dan layak untuk kita jadikan pelajaran. Sayang seribu sayang beberapa tahun ini justru muncul dakwah-dakwah yang menyulut kebanggaan atas agama tertentu. Apakah mereka tidak belajar dari sejarah? Padahal semua agama mengajarkan perdamaian, lantas mengapa yang didakwahkan justru hal-hal yang tidak mengandung unsur perdamaian tersebut? Dakwah berarti mengajak, bukan menyingkirkan.

Disamping itu, ada yang lucu dari gerakan keagamaan di Indonesia bila kita perhatikan secara detail. Gerakan-gerakan yang menyerukan nama Tuhan itu terkadang menjadi ironi. Sebab kenapa? Sebab terkadang saat memasuki waktu ibadah malah mereka tidak beribadah. Saya pernah menemui seseorang yang dalam kesehariannya tidak pernah melakukan kewajibannya sebagai umat beragama namun ini dalam sebuah gerakan dakwah yang menyerukan agamanya. Tentu saja hal tersebut sah-sah saja. Tetapi sah pula bagi saya untuk sedikit heran dengan hal tersebut bukan?

Selain ras dan agama. Identitas komunitas kini mulai memabukkan juga. Bahkan terkadang saking mabuknya dia sendiri tidak mengerti komunitas apa yang dia akui sebagai identitasnya itu, atau yang lebih parah lagi malah menggunakan identitas itu untuk melakukan sesuatu yang tidak semestinya. Sebagai contoh ada seorang laki-laki yang mengaku dirinya sebagai feminis, dia menggunakan identitas itu bukan karena memperjuangkan apa yang harus diperjuangkan oleh komunitasnya, namun hanya sekedar biar keren semata dan malah terkadang disalahgunakan untuk mendekati lawan jenisnya karena menyandang identitas tersebut seolah-olah membuat mereka dipandang cukup intelektual. Beberapa kaum perempuan pun terkadang menyematkan identitas tersebut pada dirinya hanya untuk sekedar mendapatkan keistimewaan. Sedangkan ketika haknya benar-benar disejajarkan dengan kaum laki-laki mereka mengeluh. Ketika tidak diberikan tempat duduk didalam transportasi umum malah menggerutu “dasar cowok nggak tau etika”.

Barangkali beberapa contoh diatas cukup untuk memberikan kita gambaran bahwa identitas ternyata cukup memabukkan orang. Identitas tidak dimaknai sebagai sebuah amanat dan beban yang harus dilaksanakan dan dipikul tetapi justru digunakan sebagai tameng untuk menunjukkan arogansi. Semoga kita terbebas dari belenggu identitas yang memabukkan itu.

Comments

Popular Posts