Etika > Desain

Sumber: https://www.zicasso.com/travel-agency-reviews/travel-review-luxury-tour-japan-osaka-tokyo-kanazawa-kyoto-hiroshima-cooking
 
Taukah kalian tentang Shoji? Pintu rumah tradisional Jepang yang tipis, membukanya dengan cara digeser, ada aksen kotak-kotak dibagian atasnya, terbuat dari kayu dan kertas. Kayu digunakan sebagai material utamanya, dan kertasnya berfungsi sebagai pengisi dari aksen kotak-kotak tersebut.
 
Pada dasarnya ia adalah pintu yang begitu sederhana. Namun taukah kalian bahwa sampai hari ini jarang sekali (atau bahkan tidak pernah) kita mendengar kertas yang digunakan di pintu tersebut robek karena ulah tangan manusia?

***

Malioboro sejak beberapa bulan lalu telah mengalami perubahan yang drastis. Ada parkiran baru di sebelah utara Hotel Ina Garuda yang ditujukan sebagai ruang untuk mewadahi kendaraan bermotor yang tadinya diparkirkan di trotoar jalan. Setelah trotoar bersih dari kendaraan bermotor, trotoarnya pun diperbaiki menjadi benar-benar bagus dan bersih. Ada panel penunjuk jalan untuk difabel, tempat sampah, kursi, lampu yang cantik, pohon yang penanamannya didesain dengan baik, dan lain-lain. Trotoar Malioboro kini benar-benar nyaman untuk jalan kaki dan menjadi citra yang baik bagi Jogja.

Namun sayangnya, beberapa minggu setelah peresmian trotoar baru muncul berita yang kurang menyenangkan. Pada lubang yang digunakan untuk menanam pohon, isinya adalah sampah dan puntung rokok. Ini mencengangkan! Padahal bak sampah dalam ukuran yang besar sudah disiapkan pada tiap titik di sana, setiap titik pun diberi dua bak sampah. Visual bak sampahnya juga mudah untuk dikenali. Tetapi ironisnya, para pengguna trotoar dengan gampangnya membuang sampah dan puntung rokok di lubang pohon.

Setelah membaca berita itu rasanya begitu menyakitkan hati dan membuat otak berputar-putar tiada henti. Apa susahnya untuk membuang sampah dan puntung rokok pada tempatnya? Toh tempatnya sudah disediakan, besar, dan banyak. Anehnya lagi, kenapa harus dibuang pada lubang pohon? Bukankah pohon juga makhluk hidup? Apakah tidak terpikirkan dalam benaknya bahwa mereka melempari sampah dan puntung rokok itu kepada makhluk hidup?

 ***

Familiar dengan istilah M3K (munggah mundur madhep kali)? Munggah berarti naik, mundur berarti mundur, madhep berarti menghadap, dan kali berarti sungai. M3K adalah konsep berskala urban yang diterapkan untuk pengembangan kawasan bantaran sungai. Konsep ini dilatar belakangi oleh banyaknya sampah yang ada disungai dan menimbulkan banyak masalah (banjir, bau, kualitas air sungai menurun, dll). Masyarakat yang tinggal di bantaran sungai sering kali membuang sampah secara sembarangan ke sungai yang berada di belakang rumahnya. Di Jawa, belakang disebut dengan wingking. Segala hal yang berada di wingking/belakang sifatnya kotor. Oleh karenanya belakang rumah sering dijadikan sebagai tempat sampah. Kebetulan, belakang rumahnya adalah sungai sehingga sungai menjadi tempat sampah bagi hampir semua rumah yang berada di bantaran sungai. Bisa dibayangkan betapa seramnya.

Atas dasar hal tersebut M3K hadir sebagai sebuah solusi. M3K mengajak masyarakat yang tinggal di bantaran sungai untuk memundurkan, menaikkan, dan menghadapkan rumahnya ke sungai. Mundur gunanya agar sungai mempunyai sempadan yang mana nanti bisa digunakan sebagai jalan untuk inspeksi sungai. Naik agar bila terjadi luapan air sungai rumah bisa selamat, dan menghadap ke sungai supaya sungai menjadi halaman, bukan lagi tempat sampah. Halaman umumnya pasti akan dirawat baik-baik karena halaman merupakan wajah dari rumah. Sedikit sekali bukan orang yang membiarkan wajahnya kotor? Umumnya wajah akan dijaga baik-baik. Lantas, bila wajahnya adalah sungai. Maka harapannya sungai itu pun akan dijaga dengan baik.

M3K bila di tinjau dari niatnya memanglah baik. Namun dalam praktiknya tidak semulus itu. Memundurkan rumah tidaklah semudah yang kita bayangkan. Sempadan sungai untuk sungai bertanggul dalam kota adalah 3 meter. Mengikhlaskan tanah selebar 3 meter adalah perkara yang besar sebab rumah-rumah yang ada di sana begitu terbatas ruangnya. Apabila diambil 3 meter, bisa-bisa hanya tersisa beberapa meter saja rumah mereka. Padahal rumah-rumah di permukiman padat penduduk seperti itu seringkali satu rumah ditinggali lebih dari satu keluarga. Kasus yang pernah saya temui, bahkan satu rumah dihuni oleh enam keluarga. Bisa bayangkan bukan?

Umumnya hal semacam itu akan alot perdebatannya. Perlu negosiasi berkali-kali untuk dapat merealisasikan sempadan 3 meter itu. Dan biayanya tentu saja tidak murah.

Menaikkan rumah juga perkara yang sulit, sebab uang siapa yang bisa digunakan untuk membiayai itu? Masyarakat tentu keberatan untuk melakukannya. Apalagi menghadapkan rumah ke sungai. Ini adalah perkara yang seolah sepele dalam teks tetapi kenyataannya sangat sulit sekali. Bisa kah anda membayangkan rumah anda yang sekarang dibalik wajahnya? Yang selama ini menjadi wajah belakang rumah menjadi wajah depan. Apakah fasadenya tak akan dirubah? Apakah tak akan ada penambahan pintu dan jendela? Apakah ruang tamu anda akan tetap berada ditempat yang sama? Bagaimana dengan dapur yang ada dibelakang? Serta bagaimana dengan kamar mandi? Merubah wajah belakang menjadi wajah depan tidaklah mudah dan murah. Betapa susahnya usaha yang harus dilakukan untuk merubah perilaku kita.

 ***

Pelajaran apa yang dapat kita ambil dari tiga cerita di atas?

Adalah etika yang kiranya menjadi perhatian kita. Betapa tingginya etika orang-orang Jepang hingga pintu yang dari kertas pun tak pernah kita dengar robek karena ulah manusia. Pada keseharian kita, pintu yang semuanya berasal dari kayu serta gagangnya dari besi/aluminium pun rusak. 

Beberapa orang percaya bahwa dengan desain yang baik, kita mampu mengubah etika masyarakat. Bila kita mendesain sesuatu dengan baik dan bagus, tentu orang akan enggan untuk merusaknya. Nyatanya? Berapa banyak tembok-tembok baru yang baru saja dicat lalu ditumpuki oleh goresan-goresan cat semprot? Malioboro yang secantik itu tak membuat masyarakat lantas pekewuh (tidak enak hati) untuk membuang sampah sembarangan, nyatanya sampah tetap berserakan dimana-mana bahkan puntung rokok dilemparkan kepada pohon. Cobalah melewati Jalan Malioboro pukul 00.00 WIB, disana akan kalian lihat petugas cleaning service yang harus membersihkan sampah di trotoar Malioboro hingga bertumpuk-tumpuk.

Cerita tentang M3K bukan dalam rangka mendiskreditkan konsep tersebut. Melainkan untuk menunjukkan bahwa betapa susahnya merubah etika masyarakat. Harga yang harus dibayar begitu mahal. Oleh karenanya, marilah kita berintrospeksi diri. Perubahan paling utama yang harus dilakukan adalah pada diri kita sendiri dulu. Pastikan setidaknya kita membuang sampah pada tempatnya, merawat barang-barang yang kita punya, dan lain-lain. 

Sebab sebagus apapun desain bila usernya tidak mempunyai jiwa dan etika yang baik, maka desain itu pun akan segera rusak juga. Dan sebenarnya, dengan beretika yang baik kita bisa menyederhanakan desain. Desain tidak perlu muluk-muluk dengan berbagai strategi untuk “membentuk masyarakat”. Sebab masyarakat tidak perlu lagi dibentuk. Mereka akan menyimpan bungkus permen mereka bila saat mereka berjalan tidak menemui bak sampah dan baru akan membuangnya jika bertemu dengan bak sampah atau bahkan baru akan membuangnya saat berada dirumah bila di jalan benar-benar tak ada bak sampah. Sebuah etika yang sesungguhnya sangat sederhana, yang sejak sekolah dasar kita sudah mempelajarinya. Tapi lucunya, kita kok nggak lulus-lulus juga ya hehehe.

Comments

Popular Posts