"Even seni kok mbayar?!"

Sumber: https://www.gatra.com/detail/news/432978/lifestyle/jokowi-prabowo-dan-partai-ayam-meriahkan-pameran-seni-ini

Mengamati media sosial memang tiada habisnya. Ada saja topik yang bisa kita bahas dan disangkutpautkan dengannya. Hal ini memang keniscayaan mengingat kini manusia (terutama yang muda) telah menghidupi dunia baru ini dengan waktu kehadiran yang cukup signifikan. Dalam setiap satu jam saja, berapa kali kita menengok ke HP? Saya meyakini setidaknya tiga kali lebih kita menengok HP dalam satu jam.

Oleh karenanya, kini mengiklankan sesuatu di media sosial menjadi alternatif marketing yang baik. Jika kita memasang iklan via papan reklame, maka yang melihat iklan kita adalah orang yang lalu-lalang melewati titik reklame tersebut. Tetapi jika kita memasang iklan di Facebook, Twitter, atau Instagram? Berjuta-juta orang bisa melihatnya. Itulah kenapa kini muncul pekerjaan baru bernama influencer. Seseorang yang dikenal luas oleh masyarakat dan umumnya di media sosial mempunyai begitu banyak follower. Mereka disewa oleh perusahaan untuk mengiklankan produk dengan harapan follower mereka akan ikut tertarik dengan produk tersebut.

Perusahaan yang telah menuai kepercayaan publik atas brand mereka umumnya akan cukup mudah memasarkan produk mereka meskipun produk mereka harganya selangit. Contoh saja Apple, betapa banyak produk HP yang mempunyai spesifikasi yang sama bahkan lebih unggul dari produk Apple (iPhone). Namun, tetap saja Apple tak sepi customer meski harganya selangit dan spesifikasinya sudah banyak disaingi. Beberapa perusahaan fashion pun serupa dengan kasus diatas. Pernahkah kalian melihat sebuah produk fashion dengan desain yang bisa dibilang cukup tidak wajar namun laris meski harganya selangit?

Pada era media sosial ini, perusahaan-perusahaan tidak hanya dibantu lewat marketing seperti yang telah dijelaskan diatas. Namun juga dibantu dengan adanya trend. Trend memang sesuatu yang sejak zaman dulu sudah ada. Namun dengan adanya media sosial, trend menjadi begitu menonjol dan dinamis. Beberapa orang membeli iPhone karena memang senang dengan brandnya, desainnya bagus, kualitasnya baik, security-nya ok dan lain-lain. Namun ada juga yang membeli iPhone untuk sekedar nge-trend. Beli iPhone hanya gara-gara teman-temannya pakai iPhone juga misalnya. Beberapa orang membeli baju merk tertentu karena memang dia senang dengan produknya. Namun ada juga yang membelinya hanya gara-gara sedang jadi trend di Instagram sehingga “masa sih saya ga punya yang begini jugaaaa”. Segala sesuatu yang menjadi trend dan populer kini hampir dipastikan laris manis. Orang kini takut untuk ketinggalan sesuatu alias FOMO (fear of missing out).

Syndrome kepopoleran ini kini menyasar dimana-mana. Bahkan dewasa ini, ajang seni yang umumnya berada pada jalan yang sunyi berubah total menjadi begitu ramai dan populer. Beberapa memang tertarik untuk menikmatinya, namun ada juga yang karena “temenku foto disana bagus, kita kesana juga yukkk!”, “eh ini lucu banget, upload ya nanti di ig”. Peristiwa semacam ini dapat dilihat diberbagai ajang seni. ArtJog misalnya, siapa yang hari ini tidak tau ArtJog? Sebauh even berskala internasional dari Jogja yang terkenal itu. 

Dahulu ArtJog tidak menarik biaya sepeserpun bagi pengunjung, namun lama-kelamaan ada tiket untuk masuk yang cukup merogoh kocek bagi kalangan pelajar dan mahasiswa (50k). ArtJog sempat dikritik karena hal ini, “pameran seni kok mbayar”. ArtJog lantas memberi klarifikasi bahwa mereka tidak menyatakan diri sebagai sebuah even seni yang pure ingin pameran saja, namun memang ArtJog bersifat komersil.

Meski begitu, dalam beberapa tahun ini ArtJog selalu dibarengi dengan even bernama Yogya Annual Art. Even ini juga even seni. Karya-karya yang dipamerkan pun benar-benar tidak sembarangan. Bedanya, even ini gratis. Hehe

Banyak spekulasi yang menyatakan bahwa even tersebut adalah sebuah kritik. Kritiknya seniman tidak dengan marah-marah dan mengamuk, tetapi dengan karya. Beberapa orang menyayangkan even seni kini tidak dinikmati sebagai even seni. Maksudnya, orang datang ke sebuah even seni bukan untuk menikmati dan mempelajari karya tersebut, melainkan hanya untuk mengikuti trend, supaya gaul, supaya update, biar nggak ketinggalan, untuk foto-foto lalu diupload di instagram dengan caption yang kadang tidak ada hubungannya dengan karya seni yang difoto. 

Begitulah kiranya kritik yang sering diajukan. Karya seni kini hanya menjadi background semata, menjadi isian feed media sosial belaka. Nilai dan pesan yang dibawanya hanyut dalam gelombang besar globalisasi yang begitu derasnya.

Comments

Popular Posts