Berani Berpuasa di Bulan Ramadhan

Sumber: https://www.caknun.com/2016/puasa-intan-berlian/

Bulan Ramadhan adalah bulan yang dinanti-nanti. Satu bulan istimewa diantara yang lainnya. Orang-orang menyambutnya dengan begitu gembira dan suka cita. 

Bulan Ramadhan adalah bulan penuh berkah. Setan-setan dikunci dalam ruang gelapnya dan pintu kenikmatan dibuka selebar-lebarnya. Penjual kuliner riang gembira karena dagangannya hampir pasti laku dibeli untuk bekal sahur atau berbuka. Masjid dan kotak-kotak infaqnya akan terisi penuh. Sodaqoh bertebaran dimana-mana. Kegiatan-kegiatan sosial dilakukan secara masif. Pesan-pesan damai disuarakan. Orang-orang menjadi lebih bersabar, lebih menahan diri untuk tidak membicarakan perkara-perkara yang dimungkinkan menyulut perselisihan.

***

Lucunya, kegiatan-kegiatan yang begitu baik itu umumnya hanya terjadi saat bulan ramadhan berlangsung. Setelah bulan ramadhan selesai hampir bisa dipastikan semuanya menjadi seperti semula. Padahal ramadhan adalah madrasah (sekolah). Selama satu bulan itu kita melaksanakan diklat (pendidikan dan latihan) untuk lebih menahan diri atas apapun. Logikanya, setelah kita menyelesaikan sekolah maka kita akan masuk ke dunia sesungguhnya dan mengamalkan ilmu yang telah kita dapatkan di sekolah. Sayangnya, ramadhan kini tak dimaknai lagi sebagai madrasah, ramadhan lebih dimaknai hanya sebagai even yang diadakan setiap tahun.

Ramadhan seolah-olah sebuah even diskon besar-besaran. Mulai diskon baju, makanan, hingga pahala. Ramadhan sebagai bulan yang sakral bergeser maknanya menjadi suatu even komersial. Tak bisa kita pungkiri bahwa banyak sekali produk-produk yang mencoba menyusupkan mindset “kamu butuh aku di ramadhan ini”, mulai dari sirup, kue, minuman kemasan, hingga amplop. Lebih lagi saat menjelang lebaran, betapa hectic-nya kita kesana kemari membeli bermacam-macam “kebutuhan” yang dipersepsikan oleh iklan sebagai sesuatu yang kita butuhkan.

Esensi menahan diri di bulan Ramadhan seketika batal karena kita tidak bisa menahan diri untuk tidak terpancing arus konsumerisme yang begitu deras.

***

Konsumerisme ini merambat dan merembet sampai pada segmen amalan. Oleh karena imbalan amalan di bulan ramadhan ini berlimpah ruah dan berlipat-lipat, orang-orang lantas memanfaatkannya “sebaik mungkin”. Terbitlah aksi-aksi bakti sosial disertai selfie-selfie, terbitlah aksi “memberikan infaq terbaik”, dan aksi-aksi yang lain atas dasar imbalan amalan yang berlimpah ruah.

Apakah hal tersebut salah? Tentu saja tidak. Tetapi kita bisa melakukannya dengan niatan yang lebih baik. Niatan seperti apakah itu? Yaitu niatan untuk melakukannya secara ikhlas tanpa mengharapkan imbalan apapun, melakukannya murni atas dasar perwujudan cinta kita kepada Allah. Jadi, bila seandainya ramadhan telah berakhir, kita tetap melakukan kegiatan itu karena kita tidak risau lagi dengan imbalannya. Bahkan tidak diberi imbalan pun tidak masalah, sebab apa yang kita lakukan adalah wujud cinta kita kepada Tuhan, bukan cinta kita kepada imbalan.

***
 
Ramadhan sebagai bulan yang suci terkadang mendapat perlakuan yang cukup posesif. Sampai-sampai warung-warung makan tidak diperbolehkan buka di siang hari. Alasannya adalah demi menjaga kelancaran puasa, mungkin agar yang sedang menjalankan puasa tidak tergoda dengan wujud atau aroma makanan yang dihidangkan. Namun, bukankah ini aneh?

Tidak semua orang berpuasa. Sahabat-sahabat kita yang beragama lain tetap butuh sarapan atau makan siang. Teman-teman kita kaum perempuan yang sedang menstruasi juga butuh makan, tak terkecuali para ibu hamil dan ibu yang sedang menyusui serta mereka yang tengah sakit.

Selain itu, apa sesungguhnya yang salah dengan warung makan yang tetap buka? Bukankah esensi puasa adalah menahan diri? Justru biarlah warung-warung itu tetap buka sebagai bahan penguji untuk kita yang menjalankan puasa. Biarlah aroma makanan itu membuat kita merasa lapar. Karena memang puasa seharusnya merasa lapar, kalau puasa terasa kenyang bukankah justru aneh? Sepengalaman saya, kalau memang sudah berniat untuk berpuasa umumnya tidak akan tergoda kok dengan makanan apapun. Kalau memang ternyata tergoda dan akhirnya batal puasanya, saya rasa itu bukan salahnya yang punya warung, tapi salahnya dia sendiri yang memang kurang kuat menahan diri.

 ***

Sudah selayaknya, kita mulai berpikir kembali apa itu puasa. Apakah puasa hanya sekedar menahan makan dan minum? Saya rasa tidak hanya itu. Puasa juga tentang menahan diri atas sifat konsumerisme kita, baik konsumerisme material serta konsumerisme imbalan. Mari meniatkan seluruh amalan yang kita lakukan atas dasar kecintaan kita kepada Tuhan. Mari untuk tidak terlalu posesif terhadap Ramadhan, mari untuk bertoleransi lebih dulu daripada mengharapkan toleransi dari orang lain. Mari berani berpuasa di bulan Ramadhan.

Comments

Popular Posts