Berani Berpuasa


Dewasa ini perubahan isu adalah sesuatu yang sangat dinamis sekali. Ia mampu berubah-ubah dalam hitungan hari, jam, bahkan detii. Hal ini ditengarai oleh perkembangan media sosial yang kini menjadi bagian hidup tak terpisahkan dari manusia.

Dahulu media untuk berbicara sangatlah terbatas. Melalui buku, majalah, atau koran yang terbitnya berkala, paling banter satu hari sekali. Itu pun tulisan-tulisannya masih dikurasi apakah layak dimuat atau tidak, atau siapa tau keduluan orang lain sehingga tidak dimuat.

Hal itu menyebabkan wacana publik dapat dikontrol oleh media, kadang juga oleh aktor tertentu jika ia yang punya media tersebut. Tetapi terlepas dari itu, wacana publik yang terkontrol membuat suasana di masyarakat menjadi cukup stabil. Saya tidak mengatakan ini hal yang baik atau buruk, sebab untuk baik dan buruknya tentu kita bisa perdebatkan.

Hadirnya era media sosial yang bebas membuat wacana-wacana publik menjadi beragam. Sebab kini orang tidak perlu memasukkan tulisannya ke koran untuk dapat dibaca masyarakat. Cukup ketik di layar hp dan “tweet” maka tulisan kita akan tersebar bukan hanya didaerah kita tinggal tapi seantero bumi.

Tulisan-tulisan yang diunggah di media sosial tersebut dengan demikian akan mewarnai kolom pikiran kita. Membawa kita dalam wacana-wacana yang begitu kaya dan beragam. Mulai dari hal yang lucu hingga yang sangat serius. Bahkan kita akan menemukan tulisan-tulisan yang rasa-rasanya tidak akan mungkin dimuat di koran.

Kekayaan khazanah tersebut membuat kita melihat dunia dengan cara yang begitu berbeda. Era keterbukaan ini membuat kita mampu melihat sisi yang selama ini tersembunyi. Warna-warna yang dulu tak tampak, kini bisa mulai terlihat.

Informasi melimpah yang disediakan oleh media sosial adalah hal yang luar biasa. Namun, tak pelak bahwa ada hitam maka ada putih. Tidak semua informasi yang ada lantas semuanya baik. Ada informasi-informasi yang isinya justru berisi kebohongan dan bahkan kebencian.

Faktanya informasi gelap semacam itu justru sering berhasil memanipulasi pikiran pembacanya. Tulisan-tulisan itu beredar luas di media sosial apalagi saat ada momen-momen tertentu seperti pilpres beberapa bulan lalu. Betapa hanyak informasi gelap yang berseliweran di media sosial.

Bersama dengan itu, algoritma kini sudah masuk ke akun-akun kita. Algoritma itu akan mencatat seluruh hal yang kita buka di internet, mengamati hal-hal yang sering kita kunjungi. Maka tak kaget bila saat kita sedang mencari produk HP, tiba-tiba di media sosial kita muncul iklan HP yang kita cari, atau kita sering kali menemukan hal-hal yang bersesuaian dengan pandangan ideologi kita. Kita bersua di mesia sosial dengan orang-orang yang sepaham dan sepemikiran. Hal ini bisa berarti baik, tapi bisa juga sangat buruk karena kita hanya akan terjerembab ke dalam lingkaran itu. Kita lantas tidak membaca pendapat orang lain, menganggap apa yang kita yakin 100% benar. Jebakan itu bernama “echo chamber”.

Lantas, dengan segala kedigdayaan media sosial hari ini? Apa yang bisa kita lakukan untuk tak terjebak pada hoax, pada “echo chamber”, dan tidak menjadi amplifier kebodohan dengan terjebak pada keduanya.

Salah satu hal yang mungkin bisa dilakukan adalah berpuasa. Menahan diri, menjaga jarak dari media sosial sejenak. Menahan emosi yang bergemuruh karena tidak sepaham. Mundur sedikit untuk melihat gambaran besar dan jaringan-jaringannya agar kita tidak asal ceplas-ceplos dan menjadi agen amplifier kebodohan.

Puasa bukan hanya tentang menahan makan dan minum. Puasa juga bisa berlaku sebagai tindakan menahan diri dari tsunami informasi yang membanjiri kita. Menahan mulut, hati, dan jari-jemari untuk tidak mengetik sembarangan dan menyebarluaskannya di jagad maya.

Comments

Popular Posts