Gejayan Memanggil

Sumber: https://www.jpnn.com/news/gejayan-memanggil


Gejayan Memanggil adalah sebuah aksi demonstrasi kolektif yang dilakukan oleh seluruh mahasiswa Yogyakarta. Aksi ini diinisiasi dalam rangka menolak RKUHP, UU KPK, RUU Ketenagakerjaan, RUU Pertanahan, kriminalisasi aktivis, ketidakseriusan pemerintah dalam menanggapi isu lingkungan, serta RUU PKS yang tak kunjung disahkan.
Hari Senin tanggal 23 September 2019, pertigaan Jalan Gejayan dan Jalan Colombo bergejolak. Aksi ini digelar di Jalan Gejayan dalam rangka menyambung tali sejarah pada tahun 1998 dimana di lokasi yang sama pernah dilakukan aksi besar-besaran pula dalam rangka menanggapi iklim politik Indonesia saat kekuasaan dipegang oleh Soeharto.

Sebagai orang Jogja yang dari lahir di hingga tulisan ini ditulis (28 September 2019) masih tinggal disini, hal ini cukup mengejutkan saya sebab jarang sekali saya melihat sebuah aksi demonstrasi yang masif terjadi di Yogyakarta. Bila kita perhatikan, saat Jakarta mengalami gejolak yang besar pun Jogja tidak terpengaruh. Masih ayem tentrem. Tetapi hari ini, Jogja bergerak. Maka, bukanlah hal yang berlebihan bila saya mengatakan bahwa Indonesia tidak sedang baik-baik saja.

Aksi Gejayan Memanggil berlangsung dengan lancar dan damai. Mahasiswa melakukan aksinya dengan tertib tanpa membuat keributan. Aksi ini bahkan didukung oleh warga sekitar Jalan Gejayan. Pemilik warung penjual buah disana bahkan membagi-bagikan buah kepada para demonstran yang sedang melakukan aksi. Selain itu, poster-poster yang mereka bawa jenaka sekali. Tetap kritis, tetapi mengundang tawa.

***

Aksi semacam ini terus menerus terjadi di berbagai macam titik. Sehari setelah Gejayan Memanggil, mahasiswa melakukan demonstrasi didepan Gedung DPR RI hingga malam hari. Berbarengan dengan itu di wilayah-wilayah lain Indonesia, mahasiwa juga melakukan demonstrasi di depan Gedung DPRD di wilayah masing-masing. 

Satu momen yang menarik adalah ketika siswa STM di Jakarta mulai ikut turun ke jalan untuk bergabung bersama mahasiswa. Pasca kejadian tersebut semakin banyak siswa-siswa STM dari daerah disekitar Jakarta ikut turun ke jalan secara berombongan menuju Jakarta. Peristiwa ini disambut baik oleh para warga terutama netizen. Di twitter banyak sekali dukungan dan doa yang ditujukan untuk mereka.

Sayangnya, beberapa aksi demonstrasi diwarnai bentrokan antara demonstran dengan pihak keamanan. Bahkan beberapa jurnalis pun mengalami kekerasan yang seharusnya hal tersebut tidak boleh terjadi. Di Sulawesi Tenggara telah gugur dua saudara kita saat melakukan demonstrasi.

 ***

Gejayan Memanggil dan aksi-aksi demonstrasi lainnya nyatanya masih tetap menuai pro dan kontra. Pihak yang pro bermacam-macam dari berbagai kalangan, begitu juga dengan pihak yang kontra. Beberapa mahasiswa pun ada yang bersikap kontra dengan aksi ini.
Dalihnya aksi semacam ini mengganggu ketertiban umum, bikin macet, merusak fasilitas umum, tidak efektif dan lain sebagainya. Beberapa orang mengusulkan untuk menggunakan jalur dialog dan membicarakan ini bersama DPR.
Hal ini merupakan hal yang wajar. Sebab saya dulu pun sempat berpikiran seperti itu. Dahulu saya merasa bahwa demo itu percuma, karena pasti tidak akan direspon. Tetapi setelah melalui berbagai macam perjalanan, saya kini menyadari bahwa demonstrasi adalah hal yang masuk akal. Sebab nyatanya mereka yang duduk dikursi yang mewah itu akalnya kerap bebal dan telinganya sering tuli. Metode dialog tidak mampu membuat telinga mereka mendengar. Oleh karenanya, sepertinya kita memang harus berteriak lantang.

 ***
Bagi teman-teman yang merasa aksi semacam ini percuma atau menganggap hal ini tidak perlu dan tidak penting, it’s okay. Tapi izinkan saya untuk memberikan satu perspektif tentang aksi semacam ini.
Beberapa diantara kita tidak peduli karena mungkin kita tidak mengerti apa yang sebenarnya disuarakan. Sering saya menemui orang seperti ini. Saran saya, coba niatkan untuk membaca dan bertanya sebenarnya apa yang teman-teman perjuangankan.
Setelah membaca dan bertanya dan ternyata tetap tidak peduli juga. Mungkin sebabnya adalah karena belum paham prinsip demokrasi dan mungkin juga karena kita merasa aman dari RUU tersebut ketika di sahkan.
Namun teman-teman, coba pikirkanlah bagaimana jika salah satu anggota keluargamu atau sahabatmu yang lantas terjerat undang-undang tersebut nantinya? Umumnya orang tidak peduli karena belum pernah mengalami. Tetapi bayangkanlah jika seandainya ada kerabat kita yang nanti terjerat oleh undang-undang itu.
Lihatlah betapa banyak orang ditangkap karena sebab yang tidak jelas. Lihat aksi Kamisan di depan Istana Negara, nasib anak-anak mereka yang hilang hingga hari ini tidak pernah ada kejelasannya.
Kebabasan yang kita punya hari ini tidak didapatkan hanya dengan mengobrol dan tertawa-tawa. Kebebasan ini kita dapatkan dengan pengorbanan keringat, darah, dan air mata oleh generasi kakak-kakak kita. Kebebasan ini tidak didapatkan dengan harga yang murah, harga yang harus dibayar adalah nyawa beberapa kakak-kakak kita yang hilang dan meninggal.
Hari ini, kita gusar karena kebabasan itu akan dirampas kembali. Sehari yang lalu, dua aktivis ditangkap, salah satunya dijadikan tersangka. Padahal dalam tuntutan yang diajukan mahasiswa kepada pemegang kekuasaan, salah satunya adalah menghentikan kriminalisasi terhadap aktivis. Namun kenyataannya hal itu tidak diindahkan meski keringat, darah, dan air mata sudah tertumpah.

 ***
Teman-teman, marilah kita berjuang. Jangan sampai kebebasan ini dirampas. Sebab untuk mendapatkannya saja tidak mudah. Lakukan apapun dengan caramu masing-masing. Kau tak harus turun ke jalan, kau bisa menulis, melukis, bernyanyi, dan lain sebagainya untuk menyampaikan suaramu.
Di Jalan Gejayan yang menjadi lokasi demonstrasi kemarin, ada sebuah baliho besar dengan gambar Martin Luther King Jr besera kalimat kutipannya:
“Lebih baik mati daripada hidup tapi diam melihat ketidakadilan dan ketidakbenaran.” 
Saya tidak tahu apakah baliho itu sengaja dipasang dalam rangka demonstrasi atau kebetulan saja. Tapi yang jelas, kutipan itu begitu relevan dengan semangat aksi saat itu.
Bung Hatta pernah berkata:
“Hanya ada satu negara yang pantas menjadi negaraku. Ia tumbuh dengan perbuatan dan perbuatan itu adalah perbuatanku.” 
Mulai hari ini saya menyatakan diri berada dibarisan yang sama dengan Bung Hatta, bagaimana dengan dirimu?

Comments

Popular Posts