Dari Antrophosentrisme menuju Ekofeminisme (From Anthropocentrism to Ecofeminism)




Tulisan ini adalah sebuah tanggapan dari tulisan Puan Jati Megawati yang berjudul “Karena Kita Juga Binatang”. Tulisan Puan cukup menggelitik gudang ingatan saya mengenai apa yang pernah saya ketahui tentang isu yang diangkatnya.
***
Cogito ergo sum, aku berpikir maka aku ada. Sesuatu bisa disebut sebagai subyek ketika ia mampu berpikir. Segala sesuatu yang tidak mempunyai kemampuan berpikir maka akan dianggap sebagai non-subyek. Karena hanya manusia yang mampu berpikir maka manusia dianggap sebagai subyek, dan karena yang selain manusia dianggap tidak mampu berpikir maka tanah, air, hewan, tumbuhan, udara, dan lain-lain dianggap sebagai non-subyek. Hal ini menyebabkan manusia menganggap dirinya sebagai pusat dari segalanya atau yang sering kita sebut sebagai anthroposentris.

Sebagai sebuah pusat atas segalanya. Manusia tentunya merasa menjadi makhluk nomor wahid. Akibatnya ia eksploitatif terhadap yang ia anggap non-subyek tadi. Hal ini ditandai dengan ditemukannya mesin uap yang menjadi cikal bakal atas kehidupan modern kita hari ini.

Hari ini kita melihat bagaimana sifat eksploitatif kita terhadap mereka yang non-subyek menyebabkan bencana bagi diri kita sendiri. Boleh jadi, ini adalah karma untuk umat manusia. Kiranya sudah berapa hektar tanah yang kita gali untuk menanam pondasi hingga menyedot isi perut bumi? Sudah berapa banyak hutan yang kita bakar demi pundi-pundi kapital? Sudah berapa ribu sungai yang kita cemari? Sudah berapa ribu hewan yang punah? Dan sudah berapa ribu kali bumi menangis seorang diri?

Akhir-akhir ini kita sering mendengar berita tentang demonstrasi diberbagai belahan negara tentang isu perubahan iklim. Banyak pula LSM yang kemudian bergerak untuk mengangkat isu ini. Meski kadang kita sayangkan argumen yang mereka angkat pada akhirnya tetaplah bersifat anthroposentris. Apa maksudnya? Maksudnya adalah, mereka berkampanye untuk menyelamatkan alam tetapi bukan untuk alam itu sendiri melainkan demi keselamatan manusia. Dengan kata lain, jika alam hancur dan manusia tetap mampu bertahan hidup maka it’s okay, no problem. Mereka berteriak dengan alasan utamanya adalah manusia, bukan alam.

Teman-teman mungkin pernah mendengar istilah ekofeminisme. Secara sederhana ekofeminisme adalah gerakan yang melihat hubungan antara eksploitasi dan degradasi alam serta subordinasi dan penindasan perempuan. Lalu apa hubungannya antara keduanya? Apa hubungannya alam dan perempuan?

Pada dasarnya alam dan perempuan mempunyai satu potongan kemampuan yang sama yang tidak dimiliki oleh laki-laki. Yaitu adalah kemampuan membagi dirinya untuk orang lain. Alam menghadirkan dirinya untuk berbagi hasil yang ia punya kepada makhluk yang hidup di dalamnya. Perempuan juga serupa, ia mampu membagikan sebagian dirinya untuk orang lain saat ia sedang mengandung bayi bahkan setelah melahirkannya. Saat bayi di kandungan ia berbagi nutrisi yang ia dapatkan untuk dirinya dan untuk si bayi. Setelah lahir maka ia akan memberikan air susunya untuk si bayi. Laki-laki sama sekali tidak mempunyai pengalaman ini. Sehingga ia tidak mengerti bagaimana perasaan membagikan sebagian dirinya kepada orang lain. Hal ini cenderung membuat laki-laki mempunyai sifat eksploitatif, bahkan dahulu perempuan pun dianggap sebagai properti laki-laki. Perempuan dahulu dianggap tidak mempunyai pikiran sehigga belum bisa menjadi subyek, statusnya adalah non-subyek, sama seperti hewan dan tumbuhan. Sifat eksploitatif dan sok berkuasa ini masih melekat hingga kini pada manusia (sebab tidak hanya laki-laki yang mempunyai sifat eksploitatif hari ini), kita biasa menyebutnya dengan patriarki.

Seiring waktu berjalan, kini perempuan mulai mendapatkan hak yang setara dengan laki-laki. Gerakan feminisme telah membawa perempuan dari non-subyek menjadi subyek. Meski budaya patriarki masih begitu menguasai, namun feminisme telah memberi gebrakan yang cukup besar. Di Indonesia kini isu kesetaraan mulai terdengar nyaring suaranya, kini ada begitu banyak Kartini disini. Sudah banyak pemimpim organisasi, pemimpin daerah, pemimpin partai politik, bahkan pemimpin negara yang perempuan. Gerakan ini lambat namun pasti kian membesar.

Untuk itu ekofeminisme hadir ditengah-tengah isu alam yang kian hancur ini. Perempuan yang telah mampu membuat dirinya yang tadinya berstatus non-subyek menjadi subyek serta mempunyai potongan kesamaan dengan alam ditantang untuk menggandeng alam yang kini berstatus non-subyek menjadi subyek pula. Di beberapa negara, gerakan ini telah sukses membawa setitik perubahan. Disana sungai kini sudah menjadi subyek. Ia punya hak untuk tetap berlekuk, barang siapa yang berani-berani melanggar hak si sungai untuk tetap berlekuk maka ia berhadapan dengan pengadilan.

Kini saatnya perjuangan itu dilanjutkan di Indonesia. Teluk-teluk kita yang indah itu, punya hak untuk tetap melengkung, tidak bisa kemudian dijadikan pulau reklamasi. Gunung-gunung kita yang gagah, punya hak untuk tetap berdiri kokoh menjulang, tidak bisa kemudian dijadikan tambang semen. Sudah waktunya kita membela alam untuk alam itu sendiri, bukan hanya karena manusia terancam bila alam rusak. Kita melakukannya bukan untuk kita sendiri, tetapi karena kita sadar bahwa alam juga mempunyai hak untuk berbicara.

Comments

Popular Posts