Seseorang yang Pergi ke Luar Angkasa dengan Sepeda Cahaya




Aku berjalan pada separuh batang kayu jambu. Dibawahku ada jurang seribu kaki dengan batu-batuan lancip yang siap mencacahku. Kiranya cukup merinding berjalan di jembatan ini. Namun tak pelak, hanya ini satu-satunya jalan yang ada untuk menuju tempat itu.

Hari ini cukup cerah, ada dua matahari yang menggantung di langit-langit tempat tinggalku. Bersamanya, ada siluet putih samar-samar dari beberapa planet lain yang berdekatan. Setidaknya ada tiga planet yang jaraknya tak begitu jauh dari sini. Kadang kalau sedang bosan, aku main kesana. Ada beberapa teman yang aku kenal, mereka semua orang-orang yang baik. Hanya saja, cukup disayangkan bahwa orang-orang disini tidak pernah percaya dengan ceritaku.

Aku sering dianggap kurang waras karena mengkhayal bisa pergi ke tiga planet itu dan mempunyai teman disana. Bahkan guruku sempat bilang mungkin aku terjangkit schizophrenia. Aku telah mencoba untuk menunjukkannya kepada mereka semua bahwa aku benar-benar bisa berkelana ke tiga planet itu, tapi tetap saja mereka keras kepala dan tidak mau memenuhi ajakanku.

Akhirnya ku biarkan saja mereka mengejekku setiap hari. Aku cukup berdiam diri saja, tak perlu menanggapi. Sebab kiranya, apa yang mereka lakukan sesungguhnya cukup wajar. Siapa pula yang bisa berkelana ke tiga planet dan mendapatkan teman disana? Dan teman macam apa yang didapatkan? Alien? Tentu aku mengerti perasaan mereka setelah mendengar ceritaku. Astronot saja hampir tidak mungkin melakukannya, apalagi seorang aku. Namun toh dibalik semua itu, apa yang aku alami adalah hal yang nyata. Sama sekali tidak ku buat-buat.

Hari ini aku berencana pergi ke salah satu planet itu. Temanku disana menjanjikan sesuatu yang menarik kepadaku. Aku akan diajaknya ke sebuah tempat, tempatnya seperti apa aku kurang tau. Namun katanya, disana aku bisa bertemu Tuhan. Sungguh menarik bukan? Aku bisa bertemu dengan Dzat yang menciptakanku.

Akhirnya jembatan dari separuh kayu jambu ini terlewati sudah. Disini ada sebuah rumah mungil yang agak reot, disini aku menyimpan sepedaku. Sepeda inilah yang membawaku berkeliling angkasa. Aku mengerti itu tak masuk akal, tetapi percayalah aku takkan berbohong. Sepeda ini memang cukup ajaib, ia tidak terbuat dari besi atau carbon. Ia terbuat dari cahaya.

Pada dasarnya jika dilihat secara telanjang mata, barang ini tidaklah seperti sepeda pada umumnya. Namun entah bagaimana, semesta seolah memberi tau bahwa ini adalah sepeda. Sekali kayuh, dua tiga planet terlampaui.

Sepeda ini mungkin belumlah cukup lama bersamaku. Namun tak dinyana, ia telah membawaku ke penjuru angkasa dan mengajarkan begitu banyak hal kepadaku. Ada suatu koneksi absurd yang terjadi antara aku dan sepeda cahaya ini. Seolah kami menanggung hal yang sama, dan berkeliling angkasa adalah obat untuk meninggalkan perih dunia.

Aku buka rumah itu dan ku keluarkan sepedaku. Sepeda ini tak pernah kotor meski aku berjalan diatas lumpur atau terkena percikan api ekor meteor. Sungguh sepeda yang menyenangkan. Aku mengendarainya pelan-pelan saja sembari menikmati duniaku dari angkasa. Sungguh, duniaku begitu indah. Apa kiranya yang ada dipikiran Tuhan ketika Ia menciptakannya? Ah nanti akan ku tanyakan setelah bertemu denganNya, dan tentu saja setelah pertanyaan utamaku terjawab.

Lambat laun aku telah mencapai ruang angkasa. Melihat berbagai planet dan gelap yang menyelimutinya. Semenjak aku bisa ke ruang angkasa aku mulai menyadari, kiranya kegelapan jauh lebih luas daripada cahaya. Siapa yang tau bukan? Semesta raya yang maha luas ini ternyata didominasi oleh kegelapan.

Setelah menikmati pemandangan ruang angkasa yang gelap, aku segera pergi menuju rumah temanku di planet lain. Tidak butuh waktu lama untuk sampai kesana, hanya dalan sekejap mata sesungguhnya aku bisa langsung kesana dari rumah reot tadi. Sepeda ini selain terbuat dari cahaya, ia juga bisa melaju dengan kecepatan cahaya. Kendaraan yang sangat efektif.

Tibalah aku di rumah temanku. Kami bercanda ria dulu seperti biasa, memakan jajanan, serta minum es yang menyegarkan. Setelah itu kami baru pergi ke tempat yang telah dijanjikan. Sesampainya disana, aku cukup tercengang. Suasananya begitu sepi namun terasa begitu hangat. Ada sebuah portal maha besar didepanku dengan pintu kecil untuk masuk ke dalamnya. Aku awalnya takut-takut memasukinya, tetapi temanku meyakinkanku dengan cukup baik. Akhirnya aku pun berani memasukinya.

Ruangan didalam portal ini cukup sempit, tak seperti yang ku bayangkan sebelumnya. Kata temanku, aku harus berdiri tepat ditengah-tengah ruangan ini. Ada tanda berbentuk lingkaran di tengahnya. Kemudian menghadap ke sebuah pintu yang akan mengarah ke ruang selanjutnya. Pada titik inilah pertanyaan yang ingin kita tanyakan kita utarakan. Setelah pertanyaan di utarakan, maka kita diminta untuk membuka pintu ke ruang selanjutnya tadi. Katanya, disanalah Tuhan berada.

Aku telah berdiri di lingkaran dan akan mengajukan pertanyaan. Pertanyaanku pada dasarnya sederhana. Aku hanya ingin tau siapa itu Tuhan. Aku ingin mengenalnya dengan dekat. Selama hidup didunia, aku tak pernah mendapatkan pengertian yang jelas tentang Tuhan. Aku diminta untuk mencintaiNya, untuk rajin menyebut namaNya, tetapi bagaimana bisa? Aku saja tak mengenalnya, bagaimana caraku untuk mencintai sesuatu yang tidak aku kenali? Oleh karenanya aku datang kesini, aku mencarimu Tuhan. Telah ku sebut namaMu berulang-ulang kali, tapi tak kunjung juga aku mengerti seperti apakah diriMu.

Kali ini aku telah datang ke tempat ini. Aku datang menemuiMu. Aku ingin mengenalMu, aku ingin bercerita dan berkeluh kesah tentang apa saja kepadaMu. Dan kali ini, sekali lagi kali ini, aku datang menemuiMu. Aku panjatkan pertanyaanku, dan ku buka pintu yang ada didepanku. Aku membukanya pelan-pelan, aku berharap Tuhan ada disana untukku. Dari celah terbukanya pintu itu terbentang cahaya yang begitu cerah, pelan-pelan mataku menyesuaikannya. 

Akhirnya aku memberanikan diri melangkah masuk ke dalam ruangan itu. Dan yang aku temukan, adalah diriku sendiri.

Comments

Popular Posts