Toleransi Adalah Biang Kelanggengan Kebodohan


Toleransi. Sebuah kata yang akhir-akhir ini cukup populer bagi bangsa Indonesia. Kata ini diganduli oleh berbagai beban berat dalam konteks Indonesia. Kata ini menjadi tujuan bagi beragam manusia di Indonesia. Kata ini seolah menjadi titik simpul, bila ikatannya kuat maka akan terus bersatu. Namun bila ikatannya renggang, lama-lama akan lepas dan tak lagi menyatu.

Toleransi bagi Indonesia hari ini adalah biang pemersatu bangsa. Sebab dengan banyaknya perbedaan yang dipunyai, Indonesia mempunyai potensi konflik yang begitu besar dan beragam. Konon katanya, bangsa ini mampu bersatu seperti sekarang ini adalah karena kita mau bertoleransi satu sama lain.

Terlepas dari indahnya toleransi yang didengungkan diatas. Bolehlah kita menanyakan sejanak apa sebenarnya toleransi itu? Apakah ia hanya sekedar menghargai adanya perbedaan atau lebih dari itu? Apa yang disampaikan ini murni pertanyaan, sehingga tidak akan ada kesimpulan mengenai apa itu toleransi pada tulisan ini. Lha wong saya juga nggak tau haha.

Bila toleransi adalah menghargai adanya perbedaan, maka harga macam apa yang sesungguhnya kita berikan untuk perbedaan itu? Bila kita hanya sekedar mengakuinya dan diam saja, apakah ia masih bisa disebut sebagai toleransi? Bukankah tindakan mengakui dan mendiamkan saja belum bisa dikategorikan sebagai menghargai atau memberi harga?

Lantas seperti apa memberi harga itu? Apakah mungkin dengan kita rela merugi? Bisa jadi. Sekali lagi, bisa jadi. Contohnya apa? Mungkin begini. Saat tetangga kita meninggal dunia, tentunya mereka akan mengadakan acara layatan. Dan karena kita adalah tetangganya, maka secara otomatis halaman rumah kita akan dipakai dan tenaga kita pun akan dipinjam untuk mempersiapkan acara layatan tersebut. Secara matematis, kita rugi ruang, tenaga, dan waktu. Halaman rumah kita yang biasa kita nikmati harus dipakai orang lain. Tenaga dan waktu kita yang bisa kita gunakan untuk bekerja menjadi harus dikorbankan untuk kepentingan acara tersebut. Gambaran ini mungkin bisa dibilang sebagai sebuah toleransi. Suatu keadaan dimana kita mau merugi atau dalam bahasa halusnya kita mau direpoti oleh orang lain. Mungkin saja. 

Pada kasus lain kita bisa membawa contoh orang yang terlambat datang janjian. Kita sudah membuat janji untuk bertemu di tempat A pukul 9 pagi. Kita datang tepat waktu bahkan sebelum jam 9, tetapi ternyata dia datang pukul 10. Kita merugi waktu selama satu jam. Terbuang hanya untuk menunggu. Sebuah toleransi yang nyata sering kita alami. Meski kiranya cukup disayangkan bahwa budaya semacam ini langgeng di Indonesia.

Inilah kenapa judul tulisan ini mengangkat toleransi sebagai biang kelanggengan kebodohan. Sebab toleransi semacam ini nyatanya adalah sesuatu yang sifatnya racun atau toxic.

Pernahkah kalian membayangkan seandainya sebagain besar orang tepat waktu? Mungkin akan jarang kita temui orang yang ngebut dijalan raya. Sebab orang tersebut pasti sudah mengestimasi waktu yang dia perlukan untuk sampai tempat itu dengan nyaman. Dengan begitu, mungkin saja tingkat kecelakaan di jalan semakin bisa terkurangi. Potensi untuk serempetan dan misuhi orang juga akan terminimalisir. Sebab kita dijalan dalam keadaan rileks, tidak terburu-buru. Orkestrasi klakson setiap lampu traffic light menunjukan warna hijau juga mungkin mampu teredam. Bising dan bikin emosi sekali bukan kalau baru hijau sepersekian detik saja sudah diklakson keras sekali? Rasanya ingin saya seret orangnya dan saya bisiki pelan di telinganya “sabar bangsat ☺”. Kejadian semacam ini lantas ditanggapi oleh para pelukis bak truk yang maha kreatif dengan menulis “nek kesusu maburo” (kalau terburu-buru, sana terbang aja).

Pada sisi yang lain, keterlambatan merugikan orang yang menunggu. Kalau memang sedang tidak ada pekerjaan lain mungkin bukan masalah, tetapi kalau sedang ada pekerjaan atau janji yang lain? Tentunya itu menimbulkan problem. Di satu sisi tidak enak kalau mau pergi, di sisi yang lain aja tidak mau telat juga untuk janji yang berbeda. Keterlambatan membawa beban psikologis bagi yang menunggu/datang duluan. Selain itu hal ini turut membuat substansi dari pertemuan tersebut tidak efektif, sebab waktu yang dipunyai terpotong karena keterlambatan.

Dua hal itu baru gambaran keterlambatan pertemuan antar manusia. Beda cerita bila yang terlambat adalah transportasi umum macam kereta atau pesawat terbang. Jadwal flight akan kacau dan penumpang yang jumlahnya ratusan hingga ribuan bisa terlantar. Keterlambatan moda transportasi bisa menimbulkan keterlambatan pula bagi appoinment antar manusia yang salah dua dampaknya adalah seperti yang ditulis diatas tadi.

Sekali lagi sayang seribu sayang, entah karena terlalu baiknya/bodohnya kita untuk mentoleransi hal semacam ini. Sebuah meeting yang ngaret adalah hal yang wajar bagi kita hari ini, padahal semestinya tidak boleh seperti itu. Nilai yang kita pegang lama-kelamaan luntur karena budaya toleransi toxic semacam ini.

Tentunya tidak hanya tentang keterlambatan yang kita harus berhenti menoleransinya, namun ada banyak hal yang kita harus berhenti menoleransinya. Utamanya adalah tindakan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Mari berhenti menoleransi hal-hal yang tidak selayaknya ditoleransi. Jangan nodai toleransi untuk menjadi biang kelanggengan kebodohan kita.

Comments

Popular Posts