Sudah Saatnya Kita Berhenti Memaklumi Sesuatu yang Tidak Pantas Dimaklumi



Bagi rekan-rekan yang pernah menjalani skripsi/tugas akhir tentunya sangat mengerti mengenai teknik penulisan ilmiah. Salah satu hal yang menjadi pokok bahasan didalamnya adalah bagaimana caranya menulis. Ini bukan perkara yang mudah. Terlebih lagi bagi orang-orang yang ekspresif dalam menulis, rasanya seperti di kekang dalam sebuah ruang yang kaku.

Selama menjalankan ibadah skripsi tersebut saya meyakini hampir sebagian besar orang pasti pernah melakukan kesalahan dalam penulisannya. Revisi hanya karena salah menulis satu atau dua kata. Kertas dicoret-coret dengan tinta serta dibumbui dengan nasihat yang sangat pedas oleh dosen pembimbing. Apalagi bila sudah memasuki masa sidang dan masih ada saja tulisan yang salah, maka dapat dipastikan di sidang tersebut kita akan dinasihati dengan lebih pedas lagi. Revisi lagi dan lagi.

Kisah mengenai skripsi ini bukan untuk menakuti rekan-rekan semua yang belum memasuki masa skripsi. Tetapi ini menunjukkan bahwa kesalahan penulisan terutama dalam penulisan ilmiah tidak bisa dimaklumi. Mungkin banyak yang tidak memahami ini, bahkan mahasiswa pun terkadang tidak memahaminya bahwa kesalahan penulisan dapat membawa alur berpikir menjadi salah yang mengakibatkan kesimpulannya pun salah. “Hanya sekedar kata saja kok repot”, tidak, kata tidak hanya sekedar kata. Implikasi kata “dan” dan “atau” saja bisa membuat sebuah negara mengalami kerugian yang sangat besar. Sudah saatnya kita berhenti memaklumi “hanya sekedar kata saja kok repot”.

Berkaca dari kisah sederhana tersebut mari kita bawa perspektif ini ke dalam ranah yang lebih luas. Apa yang diceritakan dalam kisah skripsi diatas adalah sebuah kisah yang kecil. Itu hanyalah kisah seorang mahasiswa yang hidupnya masih ditanggung orang tuanya, yang mungkin belum punya tanggungan keluarga, yang belum punya tanggungan pekerjaan, dan yang pada dasarnya tanggung jawabnya hanya pada dirinya sendiri dan orang tuanya. Hanya untuk seseorang itu saja, kesalahan penulisan tidak bisa dimaklumi. Apalagi bagi mereka yang mempunyai tanggung jawab lebih besar daripada si mahasiswa tersebut, seperti para pemuka dan para pemimpin yang mempunyai tanggung jawab atas orang-orang yang mereka pimpin.

Sungguh ironi rasanya ketika menemukan sebuah tulisan seperti “ya dimakluminlah, kan pemimpin juga manusia”. Tentu saja mereka manusia, tetapi mereka adalah pemimpin, dan kesalahan adalah kesalahan. Apalagi jika ia menjadi pemimpin dengan cara mencalonkan dirinya sendiri. Itu berarti dia merasa mampu untuk melakukan tugasnya dan mampu menanggung segala resikonya. Sebab bila ia merasa tak mampu, maka ia tak akan mencalonkan dirinya. Atau bila ia di bujuk-bujuk, maka ia akan menolak bujukan tersebut. Terlebih lagi apabila yang ia pimpin adalah sebuah organisasi yang sangat besar dimana hajat banyak orang berada didalamnya. Kesalahan dalam pengambilan keputusan adalah hal fatal yang berpotensi merugikan (baik materiil maupun non-materiil) kepada orang-orang dibawah naungannya.

Kita bisa berefleksi tentang hal tersebut terhadap apa yang tengah kita alami dalam beberapa minggu ini. Kesalahan pengambilan keputusan dalam masa-masa sulit seperti pandemi corona (covid-19) yang tengah kita alami ini dapat membawa banyak hal fatal. Mari kita lihat bagaimana respon pihak yang berwenang saat berita virus ini muncul di Wuhan. Apa yang kemudian dilakukan untuk menyelamatkan warga dalam masa pandemi seperti ini? Mengapa terjadi kelangkaan masker? Mengapa terjadi kelangkaan APD? Apakah kapasitas dan kualitas rumah sakit kita memadai? Sudah berapa tenaga medis yang meninggal? Bagaimana kemudian langkah yang dilakukan saat warga yang berada di zona merah pulang ke kampung halamannya? Apa tanggapan pihak yang berwenang mengenai aksi mandiri masyarakat yang mengisolasi kampungnya sendiri?

Saya kira saya tidak perlu untuk menjawab banyak pertanyaan itu. Sebab kiranya rekan-rekan semua mampu mejawabnya sendiri. Namun setelah semua itu, masihkah kita akan mengatakan maklum?

Comments

Popular Posts