Negara Tanpa Tuhan


Pada awal masa pandemi ini, ada keoptimisan dalam benak kita untuk mampu melaluinya. Mulai dari keoptimisan yang dicitrakan oleh pemerintah hingga keoptimisan yang timbul dalam diri masyarakat sendiri. Sebuah angin segar bagi kita semua bahwa kita mempunyai pandangan positif yang serupa bahwa kita mampu melalui pandemi ini dan mampu mengambil pelajaran besar atas kejadian ini.

Lambat laun secercah cahaya mulai terlihat. Jakarta sebagai episentrum covid mengalami penurunan jumlah orang yang terpapar. Akses menuju kota lain mulai di buka, mengharap laju ekonomi akan sedikit bergeliat. Jakarta akhirnya melakukan PSBB Transisi guna menyambut hidup dalam kenormalan baru. Kota lain seperti Yogyakarta turut membuka aksesnya kepada masyarakat diluar Yogya.

Yogyakarta yang tadinya sepi kini menjadi begitu ramai. Malioboro seolah-olah menjadi daerah yang tidak ada covidnya, sebab begitu ramainya orang seolah dunia ini sedang baik-baik saja. Belum lagi bila menjelang akhir pekan, kini banyak simpul di Yogyakarta yang akhirnya ramai didatangi wisatawan dari luar kota.

Di Jakarta yang tengah menjalani PSBB Transisi juga mengalami hal yang sama. Seolah masyarakat dibebaskan dan pandemi ini sudah selesai. Banyak orang berkumpul bahkan tanpa mentaati protokol kesehatan yang begitu sederhana (memakai masker dan jaga jarak). Bisa kita lihat juga ditelevisi kita masing-masing beberapa waktu lalu, hampir setiap hari selalu ada berita Jalur Puncak yang macet dipadati oleh mobil-mobil dari Jakarta.

Daerah lain selain Yogyakarta dan Jakarta tak kalah hebohnya. Ada yang malah menyelenggarakan resepsi pernikahan skala besar, ada yang malah pesta, ada yang malah dangdutan, dan ada juga yang malah membuat acara kampanye untuk Pilkada. Alhasil dari semua rangkuman kejadian tersebut yang kita dapat adalah melonjaknya jumlah tertular covid-19 dalam jumlah yang sangat banyak setiap harinya. Kini hampir empat ribuan orang dilaporkan terpapar covid setiap hari. Itu baru yang terlapor, kita belum bisa menebak jumlah yang tidak terlapor seberapa banyak.

Kembali kita pada pembahasan awal tulisan ini, bahwa dahulu kita punya suatu keoptimisan bersama untuk melalui pandemi ini. Kita mengatakan bahwa kini kita mempunyai satu musuh bersama. Kita pada akhirnya mempunyai alasan untuk bersatu, berjalan bersama dalam rangka melawan pandemi ini. Namun nyatanya apa yang terjadi? Kita akhirnya tercerai-berai. Kesombongan kita membawa kita untuk bertindak semaunya seolah-olah pandemi ini sudah berakhir dan lantas kita bebas melakukan apa saja. Betapa tidak teredukasinya orang-orang yang menyelenggarakan hajatan besar, konser musik, bahkan kampanye Pilkada ditengah keadaan seperti ini.

Pemerintah sebagai pemegang otoritas juga sama saja. Tidak ada kejelasan sama sekali mengenai apa yang diprioritaskan. Menteri Kesehatan yang seharusnya menjadi ujung tombak dalam penanganan pandemi ini bungkam. Suaranya tak lagi terdengar. Bila memang kesehatan diprioritaskan lantas mengapa tidak ada ketegasan dalam menghadapi masalah kesehatan ini? Bahkan kenapa pilkada tetap diselenggarakan? Bukankah sudah terlihat jelas betapa pelanggaran atas protokol kesehatan dilakukan oleh para calon-calon pemimpin daerah itu? Mendaftar ke KPU saja harus pakai pawai, beberapa diantara pesertanya tak memakai masker, tak menjaga jarak. Belum lagi yang malah menggelar konser dengan ribuan masa. Apakah pemerintah kurang bahan pembelajaran?

Belum lagi kini para anggota dewan kita malah membuat keramaian baru. Ditengah masa pandemi ini mereka mengesahkan UU Cipta Kerja yang kontroversial dan akhirnya menimbulkan gelombang demonstrasi yang sangat besar. Bagaimana tidak? Undang-undang ini berpotensi besar untuk mengeksploitasi manusia dan alam. 

Kita bisa melihat hari ini baik dimedia sosial kita ataupun ditelevisi para buruh dan mahasiswa dari seluruh penjuru Indonesia melaksanakan demonstrasi besar-besaran untuk memprotes undang-undang ini. Apa yang sebenarnya dipikirkan oleh para anggota dewan tersebut? Apakah memang sengaja ingin mengeksploitasi manusia dan alam? Apakah sengaja membuat orang-orang berkumpul dan berdemonstrasi? Bukankah hal ini sangat berbahaya ditengah pandemi seperti ini? Mengapa wakil rakyat membahayakan rakyatnya sendiri? Membahayakan orang-orang yang dulu memberikan suaranya kepada mereka.

***

Melihat apa yang kini terjadi pada Indonesia membawa kita pada sebuah keprihatinan mendalam atas bangsa ini. Apa yang sesungguhnya terjadi pada diri kita, pada wakil-wakil kita, pada pemerintah kita.

Ada satu hal sederhana yang umum kita lakukan dan terlihat begitu sepele tetapi hal ini sesungguhnya layak dicermati bagi bangsa Indonesia. Marilah kita menarik momen sejenak untuk kembali ke masa sebelum pandemi. Kita ketahui bersama bahwa Indonesia adalah negara yang rawan akan bencana alam, sudah banyak sekali bencana besar yang terjadi di negeri tercinta ini. Salah satu ritual (bila boleh dikatakan sebagai ritual) yang sering sekali kita lakukan saat ada bencana melanda sebuah daerah adalah melakukan doa bersama. Hal ini dilakukan oleh seluruh elemen masyarakat, kita berdoa bersama untuk keselamatan saudara-saudara kita yang tengah tertimpa musibah. Kita, bangsa Indonesia, pada dasarnya adalah bangsa yang selalu melibatkan Tuhan dalam berbagai urusan. Tetapi hari ini, dimanakah Tuhan dalam kehidupan bangsa Indonesia?

Hal ini mungkin terlihat klise dan terlalu mengada-ada, tetapi bacalah Pembukaan UUD 1945 pada alenia ketiga.

“Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.”. 

Bahkan sejak pertama kali kita merdeka, Tuhan dilibatkan, Tuhan ada disana.

Bila kita melihat kebijakan yang dicanangkan oleh pemerintah, produk undang-undang yang dilahirkan oleh DPR, adalah Tuhan disana? Atau mungkin Tuhan diabsenkan? 

Bila ada Tuhan disana, selayaknya kebijakan yang ada tak akan seperti yang terjadi hari ini. Tuhan mengatakan barang siapa yang membunuh satu orang manusia, maka ia seperti membunuh seluruh manusia di dunia ini. Bila saja yang berwenang mengimani satu firman Tuhan itu saja, kiranya mereka akan sangat berhati-hati dalam mengambil kebijakan supaya kebijakannya tidak sampai merenggut bahkan satu nyawa pun. Tugas negara setidaknya ada tiga, melindungi nyawa rakyatnya, melindungi harta rakyatnya, dan melindungi martabat rakyatnya. Diantara ketiga hal itu, adakah yang masih tersisa darimu?

Tulisan ini tidak mengajak kita semua untuk lantas berdiam diri dan meminta Tuhan menyelesaikan semuanya. Kita tetap harus berikhtiar/berusaha untuk memecahkan segala masalah yang ada. Tetapi libatkanlah Tuhan dalam setiap ikhtiarmu. Pertimbangkanlah segala keputusanmu sembari mengingat-Nya. Kealphaan Tuhan hanya akan membawa kita pada kebijakan-kebijakan yang tidak bijaksana.

Pada dasarnya cahaya Tuhan tidak mampu terhijabi oleh apapun, yang menjadikannya seolah terhijabi adalah imajinasi kita sendiri, imaji-imaji tentang kuasa dan materialisme.

***

Untuk mengakhiri tulisan ini, marilah kita untuk berhenti sejanak dan merenung. Apakah Tuhan sudah kita libatkan dalam setiap langkah kita? Apakah kita masih terjebak dalam imaji-imaji semu sehingga cahaya Tuhan terhijabi?

Selamat menempuh perenungan panjang walau kiranya kita sudah sangat lelah dan sangat lesu. Percayalah bahwa keikhlasan kita dalam berikhtiar dijalan Tuhan akan membawa kita pada rahmat serta cahaya yang berlimpah-limpah. Bahkan kalaupun nantinya ujian ini tak kunjung berakhir pasca kita berikhtiar, maka tibalah kita untuk melaksanakan tugas terakhir kita, yaitu untuk berserah diri kepada Sang Pencipta. Nabi SAW pernah bersabda: In lam takun ‘alayya ghodlobun fala ubali, “Asalkan Engkau, wahai Tuhan, tidak marah kepadaku – maka kuterima apa saja nasibku di dunia.”


Comments

Popular Posts