Go with The Flow Adalah Tingkatan Tawakal yang Paripurna


Seiring bertambahnya usia, secara umum manusia dituntut menjadi lebih mandiri untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Di Indonesia, hal ini begitu ramainya diperbincangkan generasi muda yang tengah menghadapi masa-masa itu.

Kita mungkin sudah sangat sering mendengar berbagai ceramah motivasi dan nasihat-nasihat lainnya, bahkan mungkin sudah sampai jenuh. Kita selalu dibombong untuk mempunyai mimpi yang besar, mempunyai cita-cita yang tinggi, dan harapan yang tak pernah habis.

Pada kenyataannya memang banyak sekali orang yang mempunyai mimpi besar dan meraihnya. Ada yang usahanya penuh darah dan air mata, ada juga yang tinggal minta bapaknya. Kenyataan pada dasarnya memang menyebalkan. Tapi toh begitulah hidup yang sama-sama kita jalani ini.

Perjalanan mereka yang meraih mimpi dengan jalan yang penuh darah dan air mata nyatanya memang menggetarkan hati. Ada rasa iri sekaligus termotivasi untuk mengikuti jejaknya. Akhirnya banyak juga yang yang kemudian mengikuti jejaknya, ada yang terjatuh, tapi tentu saja tak sedikit yang berhasil. Lantas seutas senyum penuh kemenangan terlukis di bibir mereka. Sebuah kemenangan yang indah, yang sejati.

Namun disisi lain, ada orang-orang yang katanya seperti sampah di sungai. Orang-orang yang hanya mengikuti arus. Orang-orang ini disebut sebagai orang yang tidak punya pendirian. Tidak punya visi yang jelas, tidak punya mimpi, tidak punya harapan, pemalas yang tidak mau berpikir dan berusaha. Meski aneh juga ungkapan itu, sebab sampah berpeluang sangat kecil untuk masuk ke sungai, kecuali karena tangan manusia. Lalu ada pula yang mengatakan bahwa mereka seperti ikan yang mati “only dead fish go with the flow”. Namun sekali lagi, pada keadaan normal sangat susah kita temui ikan mati di sungai, hal semacam itu terjadi umumnya karena ikannya diracun oleh manusia.

Lucunya, orang-orang yang mengatai mereka seperti itu biasanya adalah orang-orang yang berhasil meraih mimpinya tadi (baik yang berusaha sendiri maupun yang minta ke bapak). Bukannya di tolong, tapi malah di maki-maki. Aneh sekali bukan? Sama-sama pernah di bawah, tapi tidak punya empati.

Kiranya cobalah kita untuk sejenak berempati dan beritikad baik pada kaum yang dimarginalkan itu. Namun sebelumnya, ada beberapa hal yang mesti diketahui. Pertama, tidak setiap orang ditakdirkan hebat sepertimu. Kedua, tidak setiap orang mentalnya sebaja mentalmu. Ketiga, pengalaman setiap orang berbeda meski mengalami peristiwa yang sama. Keempat, apa yang kamu duga sebagai kebenaran bisa jadi kesalahan, begitu pula sebaliknya. Kelima, jangan sok tau, karena mungkin kamu benar-benar tidak tau.

Bisa jadi mereka yang memutuskan untuk go with the flow bukanlah mereka yang pemalas dan tidak mau berusaha, bisa jadi mereka adalah yang usahanya sudah berdarah-darah, yang usahanya sudah melebihi kapasitas dirinya sendiri, yang sudah menangis bermalam-malam, yang sujudnya tak terhitung lagi jumlahnya, dan pada akhirnya menyadari bahwa mungkin Tuhan belum mengizinkannya. Maka ia memutuskan untuk berhenti serta menyerahkan segalanya kepadaNya. Ia memahami bahwa ia tengah berada di sebuah sungai yang mengalir deras yang tiada daya dan upaya untuk melawannya, maka ia berserah diri dan terus percaya bahwa nantinya ia akan tiba di muara, bersua dengan Samudera. 

Sebagai penutup, Adera menulis dalam lagunya yang berjudul Muara:
Kaulah matahariku
Dan kaulah samudra
Tempat hatiku bermuara
Selamat mengalir menuju muara, menjalani tawakal yang paripurna.

Comments

Popular Posts