Sampah Visual Media Sosial


Sampah visual merupakan nomen klatur yang umum digunakan untuk menunjuk karya-karya visual berupa poster, pamflet, baliho, dan lain lain yang dianggap mengotori pandangan visual manusia.

Sampah visual kini banyak kita temui hampir disetiap tempat. Di Yogyakarta, sampah visual ini sungguh marak sekali. Entah karena tidak ada regulasinya atau memang diperbolehkan seperti itu saya kurang mengerti. Tetapi mungkin memang regulasinya yang belum ada dalam konteks Yogyakarta, sebab dapat kita lihat pada ruas-ruas jalan tertentu sampah visual ini tidak ada. 

Cobalah untuk melewati Jalan Mangkubumi hingga Malioboro. Disana jalan begitu rapi, tidak akan anda temui baliho yang sebesar gajah yang nyelonong menjorok ke jalan raya. Beda cerita saat kita lewat Jalan Affandi atau Jalan Kaliurang bagian bawah dekat UGM. Termasuk pada persimpangan jalannya. Sampah visual ada dimana-mana. Baliho-baliho besar yang menjorok ke jalan raya tidak cukup dihitung dengan jari-jemari kita, harus pinjam jemarinya orang lain.

Dahulu bila kita melewati Jalan Kaliurang bawah dekat UGM dan jika cuacanya cerah, kita bisa menikmati Gunung Merapi yang sangat megah. Saya ingat ini karena pernah mengalaminya secara empiris saat saya bersepeda semasa kecil melewati jalan itu. Kini, yang akan kita lihat bila melewati jalan itu hanyalah kumpulan baliho-baliho yang menutupi pemandangan Gunung Merapi.

Beberapa tahun ini, akhirnya banyak gerakan untuk membersihkan sampah-sampah ini. Utamanya di motori oleh para mahasiswa DKV (Desain Komunikasi Visual). Gerakan ini akhirnya cukup besar suaranya sehingga isu sampah visual tersebar kemana-mana dan menimbulkan kesadaran kepada masyarakat luas, salah satu buktinya adalah tersebar ke telinga saya yang notabene bukan anak DKV.
Oleh karenanya pada tulisan ini saya mencoba mengembangkan diskursus sampah visual di ranah media sosial. Apa yang saya tulis ini bukanlah hasil riset, sehingga jangan dibayangkan bahwa tulisan ini objektif. Pada dasarnya ini adalah curahan hati dan kegelisahan saya semata pada dunia maya hari ini.

Telah kita ketahui bersama kecepatan dunia maya untuk bertransformasi dan berkembang sungguh maha cepatnya. Hanya dalam hitungan beberapa tahun, fenomena-fenomena besar dapat terjadi di dunia maya. Hari ini, siapa yang tak kenal Facebook, Instagram, Twitter, dan YouTube? Empat platform besar yang menguasai dunia maya. YouTube bahkan membranding dirinya lebih dari TV. Namun, apakah seperti itu keadaan hari ini?

Mungkin saya dan para pembaca bisa sepakat bahwa tayangan televisi hari ini memanglah sampah. TV adalah sampah visual yang benar-benar nyata dalam hidup kita hari ini. Oleh karenanya, mungkin YouTube juga melihat keadaan ini dan mendeklarasikan diri akan lebih dari TV karena di YouTube aturannya lebih longgar dan lebih liberal dimana tidak hanya yang punya uang yang bisa membuat tayangan visual, tetapi setiap orang yang bisa melakukannya. YouTube akhirnya digandrungi banyak orang sebab disana less rule dan orang bisa berkata apapun yang dia mau. Masyarakat yang jenuh dengan kebohongan televisi tentunya akan terpikat pada YouTube yang lebih jujur kontennya. Akhirnya dengan segala kemudahan yang diberikan YouTube banyak orang yang membuat konten disana. Isinya macam-macam, tetapi yang jelas: berbeda dari TV.

Namun kiranya, pepatah tiada gading yang tak retak memang benar adanya. Dewasa ini kita sulit membedakan antara TV dan YouTube, kok sama-sama sampahnya ya ini? Banyak televisi yang akhirnya membuat akun di YouTube dan menampilkan acaranya disana sehingga seolah-olah TV ini pindah platform saja. YouTube yang didesain tidak untuk acara TV menjadi seperti TV juga akhirnya. Sialnya kok ya banyak yang nonton sehingga banyak cuplikan-cuplikan acara TV yang menjadi trending topic di YouTube.

Selain acara TV yang pindah ke YouTube, kali ini kita juga menghadapi munculnya content creator YouTube yang kadar kesampahannya serupa dengan TV. Sialnya lagi, konten semacam ini juga di tonton oleh banyak orang dan menjadi trending topic pula di Youtube. Saya curiga sebenarnya yang sampah itu mereka atau orang-orang yang mau-maunya menonton tayangan semacam itu. Apa menariknya menggerebek rumah artis, mengecek saldo ATM, dan pamer memberi kado mobil mewah? Lebih-lebih, akhir-akhir ini kita dihadapkan kelakuan seorang content creator yang membercandai (dengan tidak baik) ojek online untuk membeli pesanan makanannya dengan nominal yang besar lalu di cancel saat sang ojek sudah mengantarkannya. Saya mengerti bahwa dia hanya bercanda dan setelah itu dia memberikan fee yang lebih untuk sang ojek. Namun kiranya hal semacam itu bukanlah hal terpuji. Suatu kali dosen saya pernah mengatakan “desain itu tidak ada yang salah dan benar mas…tapi punya ini… jelek”. Kiranya izinkan saya mengutip apa yang dikatakan dosen saya tersebut untuk content creator ini, konten itu pada dasarnya tidak ada yang salah atau benar…tetapi kontenmu ini…jelek, sampah.

Kiranya tulisan ini akan begitu panjang bila saya menjabarkan sampah-sampah di media sosial yang saya temui. Namun, ilustrasi diatas semoga dapat memberikan gambaran kepada kita mengenai ruang publik kita yang terkontaminasi dengan sampah. Semoga tulisan ini menjadi perhatian bagi siapapun yang tergerak hatinya untuk memberikan ruang publik yang bersih dan baik. Mari suarakan hal-hal baik diruang itu, kita lawan mereka. Saatnya membersihkan sampah-sampah itu. Sebab bila tidak, bisa jadi sampahnya terlalu banyak dan saat musim hujan menimbulkan banjir. 
Selamat berjuang, jangan menjual keluargamu di YouTube ya, haha!

Comments

Popular Posts