Loro-loroning Atunggil

Sumber:


Kang ingaran urip mono mung jumbuhing badan wadaq lan batine, pepindhane wadhah lan isine
Jeneng wadhah yen tanpa isi, alah dene arane wadhah, tanpa tanja tan ana pigunane
Semono uga isi tanpa wadhah yekti barang mokal
Tumrap urip kang utama tertamtu ambutuhake wadhah lan isi, kang utama karo-karone

Yang disebut hidup (sejati) tak lain adalah leburnya tubuh jasmani dengan batinnya, ibarat bejana dan isinya.
Biar bejana tetapi bila tanpa isi, sia-sia disebut bejana, tidak semestinya dan tidak berguna.
Demikian juga isi tanpa bejana sungguh hal yang mustahil.
Demi hidup yang baik tentulah dibutuhkan bejana dan isi, sebaiknyalah kedua-duanya.
***


Diatas adalah penggalan salah satu Serat Dewa Ruci. Serat itu menjelaskan tentang hidup melalui metafor bejana (wadah) dan isinya. Sebuah bejana (wadah) tanpa isi tidak bisa disebut sebagai bejana, dan isi tanpa bejana juga hal yang tidak mungkin. Sesuatu disebut wadah bila ia mewadahi sesuatu, dan sesuatu disebut sebagai isi bila ia ada didalam suatu wadah. Manusia disebut manusia bila ada raga dan jiwanya. Bila hanya raga saja ia disebut mayat, dan bila ada jiwa saja hari ini kita memanggilnya sebagai hantu. Untuk menjadi manusia yang utuh keduanya harus ada. Dua hal tersebut tidak bisa dipisahkan, ialah dua yang satu.
Oleh karenanya tak heran dalam aktivitas keseharian kita sering menggunakan ungkapan-ungkapan seperti ini, dan tanpa pikir panjang umumnya kita langsung mengerti apa maksudnya.

Hati yang dingin
Berjiwa garuda
Bersikap bunglon
Matahari kemenangan
Lentera jiwa
Dapur siasat
Jembatan sosial
Jalan kehidupan
Soko guru negara, dll
***


Loro-loroning Atunggil Sebagai Sebuah Kesadaran Personal

Ibarat dua muka pada satu koin uang. Meski terlihat berbeda tetapi sesungguhnya ia adalah satu hal yang sama. Siang dan malan, laki-laki dan perempuan, panas dan dingin, gelap dan terang, sedih dan bahagia, cepat dan lambat, baik dan buruk, dan lain sebagainya.

Loro-loroning atunggil mengajak kita untuk berpikir secara bulat dalam menelaah sesuatu. Jangan sampai kita menelaah sesuatu secara parsial saja sehingga yang dihasilkan nantinya hanyalah bias semata.

Loro-loroning atunggil menyadarkan kita bahwa sebaik apapun tindakan kita, pada dasarnya resiko untuk masuk kedalam ruang gelap semesta itu ada. Hal ini tidak bermaksud untuk mengecilkan harapan serta mengucilkan semangat orang-orang dalam berbuat kebaikan, melainkan sebagai upaya untuk menyadarkan diri lebih awal daripada nantinya saat terjatuh dalam ruang gelap itu, kita lantas hanya bisa berkata “betapa hidup tidak adil”. Sedangkan hidup itu sendiri pada dasarnya tidak mempunyai sifat adil, dia hanyalah sesuatu yang ada sebagaimana adanya.

Siang dan malan, laki-laki dan perempuan, panas dan dingin, gelap dan terang, sedih dan bahagia, cepat dan lambat, baik dan buruk, berhasil dan gagal, dan lain sebagainya adalah sebuah suratan yang telah digoreskan oleh Semesta. Hingga hari ini, Ia tidak pernah merevisinya sekalipun.

***

Loro-loroning Atunggil Sebagai Sebuah Kesadaran Kolektif

Sebagai sebuah kesadaran kolektif loro-loroning atunggil mengajak kita untuk menyelami samudera perbedaan yang tiada habisnya, perbedaan yang dihasilkan pun bukan perbedaan yang sifatnya halus, melainkan yang kasar dan sangat kontras seperti gelap dan terang, baik dan buruk, dan lain sebagainya.

Sebagai sesuatu yang jamak namun satu, loro-loroning atunggil mengajak kita untuk tidak hanya mentoleransi perbedaan, namun juga mengakui, menerima, dan menghendakinya sebagai bagian dari kesempurnaan. Ia adalah sesuatu yang berpasangan serta terpancar dari satu sumber yang sama.

Loro-loroning atunggil sebagai kesadaran kolektif tidak lantas diartikan sebagai dua yang satu secara harafiah. Dua yang dimaksud bukanlah berjumlah dua, tetapi berjumlah jamak. Bisa dua, bisa tiga, bisa seribu, bisa satu juta, dll. Apa yang berjumlah jamak ini? Macam-macam, tergantung pada konteks yang kita pakai. Misalnya saja jika konteksnya adalah negera, maka bisa saja ia adalah suku bangsa. Indonesia contohnya, kita punya ribuan pulau dan mempunyai begitu banyak suku bangsa yang berbeda-beda, namun meski begitu kita terikat dalam satu hal tunggal yang telah kita sepakati bersama yaitu Pancasila.

***

Merawat Kewarasan

Bila kita tidak mempunyai kesadaran dan mental yang baik, maka konsep loro-loroning atunggil hanya akan menjadi momok untuk diri kita sendiri. Ketika kita telah banyak berbuat baik dan justru yang kita terima adalah hal yang buruk, maka bisa jadi disaat itu juga kita akan menggugat Tuhan diatas sana. Kita akan marah dan menagih firman-Nya yang berjanji akan memberikan ganjaran terbaik bagi orang yang berbuat baik. Padahal yang terjadi sesungguhnya adalah goresan takdir semata. Tuhan memang menjanjikan ganjaran terbaik itu, tapi Ia tidak pernah menyebutkan kapan waktunya. Bisa jadi hari ini, esok, lusa, atau beberapa tahun lagi. 

Lantas kita akan menggugatNya lagi, “kenapa Tuhan menciptakan hal yang buruk, kenapa tak Ia ciptakan saja kebaikan seluruhnya?”

Pagi yang terlalu terang akan membutakan mata. Bayangkanlah bagaimana ceritanya bila yang ada didunia ini hanyalah terang tanpa ada gelap. Tidak mungkin kita akan melihat benda. Benda bisa terlihat karena disana ada terang dan gelapnya. 

Bila hidup hanya diisi dengan kebahagiaan saja, maka betapa hambar rasanya. Sebab disaat itu kita tidak pernah mengenal rasa sedih, sehingga kita tidak tau bahwa apa yang kita alami adalah bahagia. Bahagia ada karena disana ada kesedihan. Kita mengenal satu karena disana ada dua, tiga, empat dan seterusnya. Dengan apa kita menyebut sesuatu yang tiada dua, tiga, empat, dan seterusnya?
Kita mengenal malam karena ada siang. Kita mengenal tinggi sebab kita tau rendah. Kita mengenal perempuan sebab kita tau laki-laki. Dialektika kehidupan tercipta karena adanya perbedaan. Tanpa adanya perbedaan dunia tidak akan bekerja.

Namun demikian, perbedaan haruslah dikelola dengan baik. Pengelolaan perbedaan yang buruk hanya akan menyebabkan kesengsaraan bagi manusia. Bila semua suku bangsa di Indonesia di adu domba, maka habislah sudah negara yang besar ini. Oleh karenanya didalam mengelola perbedaan yang besar diperlukan modal sosial yang besar pula. Modal sosial ini adalah sebuah infrastruktur yang bisa digunakan oleh warga negara secara bersama-sama. Modal sosial adalah wujud dari yang tunggal.

Kau mungkin minang, kau mungkin sunda, kau mungkin jawa, kau mungkin budha, kau mungkin hindu, kau mungkin islam, kau mungkin jakarta, kau mungkin jambi, kau mungkin papua, kau mungkin jogjakarta, namun satu yang pasti, kita semua berbahasa satu, berbangsa satu, dan bertanah air satu, Indonesia.

Comments

Popular Posts