Regionalisme Sang Pembuka Tabir-tabir
Sumber: http://www.sonobudoyo.com/id |
Selain
dari pada itu, lahirnya Critical Regionalism juga dipicu karena
beberapa faktor, diantaranya adalah faktor konteks politik dan konteks
ekonomi. Suasana politik yang tengah berkembang pada masa pasca Perang
Dunia ke II ditandai oleh negara-negara baru yang berpihak kepada
Amerika dan sekutunya. Negara-negara tersebut mengadopsi politik ekonomi
kapitalis dengan pasar bebasnya.
Simbol-simbol
fasisme yang ada seperti misalnya bangunan-bangunan bergaya arsitektur
klasik barat mulai ditinggalkan dan digantikan dengan bangunan bergaya
arsitektur modern sebagai simbol industrialisme. Kegelisahan terhadap
pengaruh modernisme dan globalisme yang berlebihan, yang sering
dikaitkan dengan sistem ekonomi kapitalis dan gejala konsumerisme
masyarakat berpengaruh terhadap arsitektur sebagai sarana pemenuhan
kebutuhan dan identitas manusia.
Frampton
berpendapat arsitektur modern telah menjelma menjadi paham tunggal atau
dogma arsitektur internasional akibat dari penggunaan teknologi dalam
arsitektur secara berlebihan di tahun 1970an. Arsitektur seakan-akan
hanya menjadi sculpture teknologi layaknya permainan lego.
Globalisasi
arsitektur dapat mengancam bahkan membunuh karakter peradaban manusia di
berbagai belahan dunia, karena nilai dan karakter yang telah dibangun
turun temurun berdasarkan kompleksitas respon lokal telah digantikan
dengan nilai-nilai mesin yang instan, standar serta tidak responsif atas
nama modernisasi peradaban manusia. Hilangnya karakter tersebut dapat
memicu hilangnya budaya membangun seperti material, sistem struktur,
craftsmanship, dan teknologi membangun, karena arsitektur tidak lagi
dianggap sebagai produk budaya kompleks yang responsif terhadap stimulus
lingkungan.
Frampton
meletakkan pemikiran regionalisme kritis bukan sebagai gerakan oposisi
yang menentang, namun melebur pada mainstream arsitektur yang tengah
berkembang sembari mengkritisi agar mainstream tersebut tidak kehilangan
identitasnya. Ia memahami potensi dan permasalahan desain berupa
atribut atau konteks lingkungan yang melekat pada site bangunan seperti
iklim, pencahayaan, tektonisme material dan teknologi bangunan, maupun
atribut yang lainnya, serta bagaimana arsitek merespon kedalam desain.
Regionalisme kritis cenderung menjadi gerakan-gerakan lokal yang tumbuh
secara sporadis, mengikuti perkembangan arsitektur yang ada dengan
berpegang pada kontekstualitas. Hal tersebut tampak pada bentuk-bentuk
bangunan yang cenderung kecil, terletak di tengah-tengah “hutan”
bangunan modern.
Regionalisme
kritis memposisikan dirinya sebagai alat kritik yang kreatif terhadap
universalisasi yang terjadi akibat globalisasi. Tema yang diangkat untuk
mengkritik universalitas adalah kekayaan lokalitas yang diwujudkan
dalam desain arsitektur yang tactile dan tektonis. Menurut Frampton
arsitek harus memiliki sensitifitas, referensi historis dan vocabulary
arsitektur yang cukup sebelum merancang. Penting bagi arsitek untuk
bersinggungan langsung dengan lokasi, karena proses desain arsitektur
kini telah berkembang menjadi studi fenomenologi yang kompleks dan
menuntut interpretasi arsitek yang objektif. Selama dua dekade
perkembangannya, regionalisme kritis telah mampu memicu munculnya
tema-tema arsitektur yang semakin spesifik merespon kultur, geografi,
maupun iklim lokal.
Di
Jogja, Museum Sonobudoyo dapat menjadi contoh dalam kasus ini. Museum
Sonobudoyo berada di Jalan Pangurakan Yogyakarta №6 atau tepatnya berada
disebelah utara Alun-alun Utara dan Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat.
Meski museum ini berisi benda-benda dari empat budaya (Jawa, Madura,
Bali, dan Lombok) sekaligus, tetapi museum ini menggunakan langgam jawa
untuk penampilan bangunannya. Berdasarkan teori Critical Regionalism hal
ini terjadi karena Karsten (sang arsitek) lebih menekankan place dari pada space.
Karena lokasinya yang sangat dekat dengan Keraton, Karsten yang
notabene adalah arsitek Belanda tetap merancang bangunan ini dengan
langgam Jawa demi menghormati Keraton yang berada didepan lokasi site
persis. Ketinggian bangunannya juga tidak lebih tinggi dari Keraton
bahkan ada salah satu masa bangunan yang terdiri atas dua lantai tetapi
bila dilihat dari luar terkesan bahwa bangunan tersebut adalah bangunan
satu lantai. Museum ini juga mengadopsi tipologi rumah jawa, yaitu
bangunannya tidak meninggi tetapi melebar.
Semangat
regionalism pada museum ini juga dapat dilihat dari tektonika
bangunannya serta bagaimana Karsten merespon iklim lokal. Joglo yang
berada didalam kompleks museum ini menunjukkan bagaimana tektonika kayu
diterapkan. Selain Joglo jawa, di museum ini juga ada Joglo yang berasal
dari Bali. Joglo dari Bali ini juga memunjukkan tektonika kayu yang
dikembangkan di Bali. Plafon museum cukup unik, menggunakan papan-papan
kayu sebagai plafonnya. Hal ini juga menunjukkan bagaimana Karsten
benar-benar menunjukkan bagaimana tektonika kayu diolah. Dalam
menanggapi iklim tropis di Indonesia yang melimpah cahaya, Karsten
membuat bukaan-bukaan pada bagian atas dinding dan juga ditengah plafon
sehingga saat disiang hari bangunan museum tak perlu menggunakan lampu
listrik untuk penerangan karena sudah mendapat suplai dari pencahayaan
alami.
Selain itu Karsten masih mempunyai keunikan lain pada museum ini. Ada beberapa bagian museum yang bisa dirasakan secara tactile,
yaitu Karsten menghadirkan Candi Bentar yang berasal dari Bali ke dalam
museum ini dan menghadirkan ukiran-ukiran kayu untuk interior ruang
serta sebagai barang koleksi museum dimana semua itu dapat sentuh oleh
pengenjung, sehingga pengunjung tidak hanya menikmati pandangan visual
atau atmosfirnya saja tetapi bahkan indera perabaan pun dapat ikut
menikmatinya.
Tetapi
dewasa ini, perkembangan pembangunan kota Jogja mulai tak terkendali.
Apa yang menjadi keprihatinan Frampton dimasa lalu sepertinya sudah
terulang di Jogja. Ketika modal menjadi kuasa tertinggi maka seperti
inilah jadinya. Apalagi dibarengi dengan pergeseran budaya yang semakin
lebar, budaya hedonisme menjamur dimana-mana. Bangunan-bangunan tinggi
kini menduduki lokasi-lokasi strategis Kota Jogja, bahkan terkadang
sampai harus mendapat aksi protes dari warga setempat.
Bangunan-bangunan
di Kota Jogja kini begitu menjamur, Yogyakarta sepertinya tidak lagi
dilirik sebagai Kota Budaya atau Kota Pelajar, tetapi lebih kepada Kota
Pariwisata sehingga para stakeholder mungkin memandang Jogja hanya
dengan pandangan ekonomi saja. Padahal tentu saja pemikiran seperti itu
tentunya terlalu sempit dan berakibat fatal bagi masyarakat sekitar.
Rumah-rumah yang berada dibelakang beberapa bangunan-bangunan hotel
bahkan sampai air sumurnya kering sehingga mereka tidak mampu
mendapatkan air, untuk mandi, minum, masak, dan mencuci saja mereka
sampai tidak tercukupi.
Terlepas
dari permasalahan itu. Bangunan-bangunan yang berdiri pun kini hanya
seolah ingin unjuk diri. Mereka seolah ingin menunjukkan bahwa merekalah
yang paling keren diantara yang lain. Bahkan ada yang material
bangunannya harus mengambil dari daerah lain atau mengimpor dari luar
negeri. Itu saja baru materialnya, belum lagi teknologi bangunan yang
digunakan, mungkin saja teknologi itu belum mampu diproduksi di
Indonesia sehingga harus membeli dari luar negeri juga. Biaya yang
dikeluarkan sangatlah besar tetapi dinilai dari sisi manfaat sangatlah
kurang karena pada akhirnya uangnya tidak lari ke Indonesia apalagi ke
Jogja, tapi malah ke luar negeri. Dan pada akhirnya bangunan-bangunan
yang ada sama sekali tidak menghormati konteks tempat dimana ia
dibangun. Baik dari segi langgamnya, hingga sampai ke tinggi
bangunannya. Dapat ditemukan dengan mudah di daerah Jogja dimana ada
hotel sepuluh lantai lebih dapat berdampingan dengan rumah-rumah warga
yang hanya satu lantai.
Beberapa
bangunan baru yang berada dikawasan cagar budaya juga menjadi hal yang
menarik untuk dikaji. Memang benar bahwa mereka menggunakan style
tertentu sesuai yang ditentukan oleh perundang-undangan, tetapi rasanya
risih juga ketika melihat semua itu dan mulai menyadari bahwa semua itu
hanya sekedar tempelan belaka atau kitsch. Dan
menjadi keprihatinan yang lebih lanjut lagi adalah ketika secara
tiba-tiba ada bangunan yang mempunyai nilai heritage tiba-tiba hilang
atau musnah karena akan dibangun bangunan lain.
Melihat dari seluruh kejadian itu, maka menjadi penting bagi para arsitek, urban designer, dan para stakeholder
untuk lebih teliti dan lebih berhati-hati dalam memutuskan suatu
keputusan. Jogja adalah salah satu kota yang di calonkan Indonesia untuk
menjadi City Heritage. Jogja
juga sudah terkenal karena budayanya, bahkan oleh Emha Ainun Najib Jogja
dijuluki tidak hanya sebagai kota budaya, tetapi bahkan sebagai Ibu
Kota Budaya Indonesia. Dengan pengharapan dari masyarakat yang setinggi
itu terhadap Jogja, maka akan sangat malu bila Jogja kemudian kehilangan
identitasnya. Bila yang mengisi tanah-tanah di Jogja adalah
bangunan-bangunan yang dingin dan tak peduli terhadap konteks tempatnya
maka apa istimewanya Jogja? Apa bedanya ia dengan kota yang lain?
Mungkin suatu hari nanti akan muncul pertanyaan apa bedanya Jogja dengan
Singapura?
Mungkin
kita perlu berkaca pada apa yang telah di lakukan Karsten, walaupun ia
adalah seorang arsitek berkebangsaan Belanda lantas tak membuat bangunan
yang dirancangnya menjadi bergaya Belanda atau Eropa Klasik.
Kebijaksanaan dan ketekunan dalam mendalami konteks suatu tempat beserta
sisi multidimensionalnya menjadi sesuatu yang benar-benar mengagumkan
dari Karsten. Bagaimana ia yang notabene sebagai seorang penjajah tetapi
tetap mempunyai penghormatan terhadap keraton dan budaya jawa.
Regionalisme
adalah sebuah bahasa ungkapan yang indah. Dengannya kita mampu melihat
suatu bangunan bersinergi dengan konteks dimana ia berdiri. Dalam
konteks kota, dengannya kita mampu melihat jiwa dan identitas suatu
kota. Dengannya kita juga mampu melihat sifat legowo, kebijaksanaan, dan
juga ketekunan dari sang arsitek saat merancang sebuah bangunan.
Regionalisme mampu membuka banyak tabir, mulai dari tabir konteks suatu
tempat hingga pada sifat atau karakter seorang arsitek.
Dengan
begitu, regionalisme seharusnya sudah tidak menjadi konsep lagi dalam
membangun sebuah bangunan. Tetapi ia adalah sesuatu yang seharusnya
selalu mengikuti. Seperti sebuah konstanta wajib yang harus ada pada
setiap desain.
Comments
Post a Comment