Sebuah Tanya Bagi Arsitektur Indonesia
Sumber: https://wallpapercave.com/jakarta-wallpapers |
Dalam
berbagai pembicaraan maupun forum arsitektur, cukup banyak bahasan
mengenai pergeseran nilai-nilai arsitektur di Indonesia. Mulai dari
ketidaksetujuan mengenai bangunan tower dengan fasad kaca hingga tentang
perumahan-perumahan murah yang didesain sembarangan.
Mungkin
memang benar adanya bahwa arsitektur di Indonesia menjadi semakin tidak
jelas. Jika mau mengamati, mari kita lihat di kota kita masing-masing,
dapat kita jumpai rumah tinggal hingga bangunan publik yang
arsitekturnya tidak begitu masuk jika di kontekskan dengan Indonesia.
Sesungguhnya, apa yang terjadi?
Indonesia
lahir pada tanggal 17 Agustus 1945. Tapi itu adalah proklamasinya.
Dahulu tidak ada Indonesia, tidak ada pula Hindia Belanda. Dahulu tanah
ini dimiliki begitu banyak kerajaan dengan segala budayanya yang ada.
Setidaknya
ada lima fase perkembangan arsitektur di Indonesia. Yang pertama adalah
arsitektur klasik yang berasal dari masa Hindu-Budha di Indonesia,
mulai dari abad 9 hingga abad ke-15. Awalnya diinspirasikan
bentuk-bentuk arsitektur India, namun kemudian berkembang dengan
pengaruh local yang amat kuat sehingga menghasilkan tipologi, teknik
konstruksi dan elemen dekoratif yang berbeda.
Bangunan-bangunan
dalam periode ini, seperti Candi Borobudur dan Candi Prambanan
menunjukkan bahwa mereka mempunyai nilai yang sangat Indonesia dalam hal
konsepsi dan pengejawantahan arsitekturalnya.
Selain
itu, bangunan-bangunan dalam periode ini juga mempunyai perspektif yang
kosmis. Candi Borobudur misalnya, ia dibangun dengan bentuk Mandala.
Mandala berarti bentuk, tapi bukan sekedar bentuk, melainkan sebuah
bentuk yang berdaya mistis atau gaib. Atau dengan hubungan tertentu
mandala dapat berarti sebuah citra gaib. Secara kongkret mungkin dapat
dikatakan sebaga daerah kerja daya energi dan pengaruh kekuatan-kekuatan
yang gaib.Didalam ilmu fisika kita mengenal magnet, didalam magnet ada
yang disebut sebagai medan magnet, medan daya, atau medan energi yang
kemudian dapat menggambarkan pola daya magnet. Dalam mandala, ada tempat
yang paling berdaya, yaitu pada bagian pusar. Dan setiap bagian daerah
mempunyai dayanya masing-masing menurut susunan daya mandalanya tadi.
Oleh karena itu orang-orang India Kuna dalam membangun sebuah bangunan
harus berdasarkan pada prinsip Vasthu-Purusha-Mandala. Vasthu berarti
norma dasar semesta yang terbentuk dan berwujud. Purusha berarti insan
atau personifikasi gejala semesta dasar yang awal, asli, utama, sejati.
Mandala berarti sebuah wilayah energi.
Bagi
orang modern, suatu wilayah bukan hanya sekedar lokasi belaka dan bukan
hanya sekedar bentuk-bentuk desa atau kota, tetapi juga bentuk ekonomi,
budaya, politik, teknik, agama, dan segala aktivitas baik dari dunia
tumbuhan, hewan, maupun peradaban manusia. Dan hal itulah yang menjadi
primer. Letak geografisnya menjadi nilai yang sekunder. Tetapi manusia
India Kuna percaya bahwa mandala hanya punya arti ketika pusarnya
(pusat) terhubung dengan “ibunya” atau dunia atas, dengan dunia para
dewa, atau dengan Tuhan. Dengan kata lain, bagi orang-orang dizaman
dahulu, tata wilayah dan tata bangunan alias arsitekturnya tidak
diarahkan pertama kali untuk penikmatan rasa estetika bangunan, tetapi
lebih kepada pelangsungan hidup secara kosmis. Artinya selaku bagian
integral dari seluruh kosmos atau alam semesta raya yang keramat dan
gaib.
Kemudian
yang kedua adalah arsitektur vernacular. Arsitektur vernacular adalah
arsitektur yang tumbuh dan berkembang dari arsitektur rakyat yang lahir
dari masyarakat etnik dan berakar pada tradisi etnik, serta dibangun
oleh tukang berdasarkan pengalaman (trial and error), menggunakan teknik
dan material lokal serta merupakan jawaban atas setting lingkungan
tempat bangunan tersebut berada dan selalu membuka untuk terjadinya
transformasi.
Antara
tradisi dan arsitektur vernakular sangat erat hubungannya. Tradisi
memberikan suatu jaminan untuk melanjutkan kontinuitas akan tatanan
sebuah arsitektur melalui sistem persepsi ruang, bentuk, dan konstruksi
yang dipahami sebagai suatu warisan yang akan mengalami perubahan secara
perlahan melalui suatu kebiasaan. Misalnya bagaimana adaptasi
masyarakat lokal terhadap alam, yang memunculkan berbagai cara untuk
menanggulangi, misalnya iklim dengan cara membuat suatu tempat bernaung
untuk menghadapi iklim dan menyesuaikannya dengan lingkungan sekitar dan
dengan memperhatikan potensi lokal seperti potensi udara, tanaman,
material alam dan sebagainya, maka akan terciptalah suatu bangunan
arsitektur rakyat yang menggunakan teknologi sederhana dan tepat guna.
Kesederhanaan inilah yang merupakan nilai lebih sehingga tercipta bentuk
khas dari arsitektur vernakular dan tradisional serta menunjukkan
bagaimana menggunakan material secara wajar dan tidak berlebihan. Hasil
karya ‘rakyat’ ini merefleksikan akan suatu masyarakat yang akrab dengan
alamnya, kepercayaannya, dan norma-normanya dengan bijaksana.
Lalu
yang ketiga adalah arsitektur Islam. Penyebaran Islam di Nusantara
merupakan suatu proses yang penting dalam sejarah Indonesia. Jaringan
perdagangan dan kebudayaan Asia berperan besar dalam mengantarkan Islam
ke teritori besar yang paling jauh dari pusat Islam di Timur Tengah
yaitu di Asia Tenggara.
Islam
sudah ada di Indonesia diperkirakan sejak masa kekhalifahan ketiga,
yaitu khalifah Ustman bin Affan melaui jalur perdagangan orang-orang
Kanton, Cina. Bukti pertama tentang muslim pertama di Indonesia adalah
di pesisir utara Sumatera, yaitu makam Sultan Sulaiman bin Abdullah bin
Al Basir di Lamreh pada tahun 1211 M, sedangkan komunitas Islam pertama
yang terorganisasikan didapati pada makam Samudra Pasai, abad 13.
Penyebaran
Islam di pesisir pantai utara Jawa khususnya yang berbasis budaya
maritime (Banten dan Cirebon) tentu berbeda dengan yang berada di
pedalaman sebagai pusat kekuasaan (Mataram dadn Demak). Perbedaan
pendekatan dalam proses Islamisasi yang berdasarkan kondisi social
budaya serta geografis komunitas lokal menjadikan Islam di Indonesia
seakan mempunyai keanekaragaman dan kompleksitas. Keadaan ini berimbas
pada produk dan proses budayanya. Masjid adalah salah satu contoh yang
merepresentasikan budaya setempat.
Masjid
awal mempunyai peristiwa yang penting karena biasanya merupakan masjid
milik kerajaan. Banyak telaah atau pemikiran yang menunjukkan bahwa
pembentukan arsitektur masjid awal lebih banyak dideterminasi oleh
faktor globalisasi penyebaran Islam, geografi, iklim setempat, dan
budaya.Salah satu yang dapat kita jadikan contoh adalah menara masjid
Kudus. Meskipun merupakan bangunan yang dimiliki oleh komunita muslim
tetapi bangunan menara tersebut tetaplah menunjukkan konteks budayanya
yang kemudian menara tersebut didesain mirip seperti candi-candi Hindu.
Yang
ke empat adalah arsitektur Indis (Belanda). Perubahan kebijakan
kolonial Belanda dengan membuka swastanisasi memunculkan perubahan yang
cukup signifikan di Indonesia, tidak saja secara ekonomi, politik, akan
tetapu berlanjut pada sisi lain masyarakat. Kebutuhan akan transportasi
dan ekonomi memunculkan tipologi bangunan-bangunan yang berkaitan erat
dengan fasilitas proses, gudang, distribusi, transportasi, termasuk
penjualan yang terakomodasi dalam gedung perkantoran, perbankan, gudang,
stasiun kereta api, pasar, dan lain lain.
Diawal
abad ke-20 muncul ketidak puasam atas arsitektur Eropa (Neo-classical
style) di Indonesia sehingga muncul ide-ide baru untuk dapat menjadi
solusi bagi iklim tropis yang sangar berbeda denga iklim Eropa. Para
arsitek Belanda mulai mengapresiasi arsitektur vernacular dan
tradisional menjadi inspirasi ide arsitektur dan dikombinasikan dengan
gaya Art Deco maka muncullah style baru yang kemudian dikenal sebagai
arsitektur Indis.
Yang
terakhir adalah arsitektur kontemporer. Setelah kemerdekaan pada tahun
1945, bangunan modern mengambil alih Indonesia. Kondisi ini berlanjut ke
tahun 1970-an dan 1980-an ketika pertumbuhan eknomi yang cepat
Indonesia yang mengarah pada program-program pembangunan besar-besaran
di setiap sector mulai dari skema rumah murah, pabrik-pabrik, bandara,
pusat perbelanjaan dan gedung pencakar langit. Banyak proyek bergengsi
yang dirancang oleh arsitek asing yang jarang diterapkan diri mereka
untuk merancang secara khusus untuk konteks Indonesia. Seperti halnya
kota-kota besar di dunia, terutama di Asia, sebagai korban dari
globalisasi terlepas dari sejarah lokal, iklim dan orientasi budaya.
Tetapi
ada hal-hal yang cukup menarik dari permasalahan-permasalahan tersebut.
Ada sebuah rumah yang didesain oleh seorang arsitek ternama di
Indonesia. Rumah tersebut tentunya bagus secara estetika. Tetapi ada
satu hal yang cukup mengagetkan, yaitu rumah itu panas. Apakah seorang
arsitek apalagi arsitek ternama di Indonesia tidak mempertimbangkan
thermal saat mendesain? Bisa iya, bisa tidak. Tetapi terlepas dari itu,
ada satu fakta yang menarik, yaitu ketika si tuan rumah ditanyai apakah
mau pindah ke rumah yang lebih nyaman, dia mengatakan bahwa dia tidak
mau meski rumah tersebut lebih nyaman secara thermalnya. Ia menganggap
bahwa untuk tinggal dirumah tersebut, ibarat tinggal didalam sebuah
karya seni, ia mau tetap tinggal meski kondisi thermalnya tak begitu
baik.
Sesungguhnya
apa yang terjadi? Apakah hal ini ada korelasinya dengan banyaknya
gedung-gedung pencakar langit di Jakarta yang berfasad kaca? Bukankah
akan sangat panas ketika kita berada digedung tersebut? Dan tentunya
mereka menggunakan AC untuk mendinginkan bangunan tersebut, dapatkah
kita bayangkan berapa banyak uang terbuang hanya untuk mendinginkan
bangunan? Tentunya itu suatu hal yang begitu boros, tapi siapa tau
mereka juga seperti pemilik rumah dalam cerita diatas tadi, mereka rela
membayar lebih dan merasa kepanasan demi tinggal disuatu bangunan yang
mereka senangi.
Dalam
hal ini, siapa yang salah? Siapa yang benar? Atau justru tidak ada yang
salah maupun benar. Apakah sang arsitek yang gagal menerjemahkan iklim
di Indonesia? Atau justru memang permintaan sang klien adalah sebuah
gedung dengan fasad yang wajib ‘ain harus dari kaca demi sebuah pride kemodernan?
Sungguh kita tak benar-benar tau. Tetapi bolehlah kita untuk menjadikan
ini sebagai sebuah cerminan dalam introspeksi diri. Sesungguhnya
arsitektur Indonesia itu yang bagaimana? Atau yang seperti apa? Bukankah
sepertinya sudah saatnya bagi kita untuk mulai merumuskan bagaimana
seharusnya arsitektur Indonesia itu?
Ketika
kita ditanya tentang arsitektur klasik Indonesia dapat dengan mudah
kita jawab dengan jawaban Candi Borobudur atau Prambanan. Ketika ditanya
tentang arsitektur Jawa, dengan mudah kita jawab Joglo, arsitektur Bali
kita jawab dengan Pura Besakih misalnya, atau ketika ditanya tentang
arsitektur Indis, kita jawab dengan Bank Indonesia yang berada di Jogja
atau Solo. Tapi bagaimana saat kita ditanya tentang arsitektur Indonesia
masa kini? Jawaban apa yang akan kita keluarkan? Apakah gedung-gedung
berfasad kaca itu? Atau perumahan-perumahan real estate bergaya
(tempelan dekoratif) Eropa itu? Atau mungkin gedung-gedung mall?
Mungkin, kita memang masih harus mencari dan mencari. Karena hingga kini, masih ada sebuah tanya untuk arsitektur Indonesia.
Comments
Post a Comment